Posts

Memperkuat Literasi Wakaf

Irfan Syauqi Beik*

Sektor perwakafan di Indonesia terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya animo berwakaf masyarakat dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data yang ada, pengumpulan wakaf uang periode 2018-2021 mencapai angka Rp 855 miliar, naik 235,29 persen dari pengumpulan wakaf sepanjang periode 2011-2018 yang mencapai angka Rp 255 miliar. Namun angka ini baru mencapai setengah persen dari total potensi wakaf uang yang mencapai angka Rp 180 triliun. Jadi gap antara potensi dengan realisasinya masih sangat besar.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya kesenjangan antara potensi dan realisasi wakaf adalah masih rendahnya tingkat literasi wakaf masyarakat. Studi yang dilakukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Kementerian Agama tahun 2020 lalu menunjukkan bahwa skor indeks literasi wakaf baru mencapai angka 50,48 yang berada pada kategori rendah. Ini berarti tingkat pemahaman publik terhadap wakaf masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Karena itu, penguatan program literasi menjadi kata kunci yang perlu mendapat perhatian seluruh pegiat perwakafan di Indonesia.

Tiga Konsep Literasi

Dalam konteks penguatan literasi ini, ada tiga konsep literasi yang perlu disosialisasikan, yaitu literasi tentang harta obyek wakaf, literasi tentang peruntukan harta benda wakaf, dan literasi kelembagaan wakaf.

Pertama, literasi tentang harta obyek wakaf atau mauquf bihi, dimana harta yang bisa diwakafkan bukan hanya berupa aset tetap seperti rumah, sawah dan gedung, namun dapat juga berupa uang. Masih banyak warga masyarakat yang belum memahami konsepsi wakaf uang ini dengan benar, dan bahkan masih ragu apakah wakaf uang diperbolehkan secara syariah atau tidak. Padahal Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 2002 telah mengeluarkan fatwa mengenai wakaf uang, yang menegaskan bahwa mewakafkan uang adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah. Dalam fatwanya tersebut, selain menyitir ayat-ayat Al-Quran seperti QS 3:92 dan QS 2:261-262 dan hadits-hadits terkait, MUI juga merujuk pada pendapat sejumlah ulama terkemuka dalam sejarah, antara lain Imam Az-Zuhri, dan sejumlah ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafii.

Imam Az-Zuhri (wafat tahun 124 H) menyatakan bahwa boleh mewakafkan uang dinar, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha dan kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf alaih (penerima manfaat wakaf). Dijadikan sebagai modal usaha, atau dalam bahasa lain diinvestasikan, pada dasarnya merupakan upaya untuk menjaga nilai pokok dari uang tersebut agar tidak berkurang. Demikian pula Abu Tsaur yang meriwayatkan dari Imam Syafii tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (wakaf uang). Intinya, berwakaf uang merupakan sesuatu yang sesuai dengan syariah. Dalam prakteknya, wakaf uang ini juga telah berkembang dari masa ke masa, dan puncaknya adalah pada masa kekhilafahan Turki Usmani, dimana wakaf uang menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi utama dunia selama kurang lebih tiga abad.

Adapun saat ini, wakaf uang juga telah dipraktekkan di berbagai belahan dunia, seperti di Malaysia, Arab Saudi, Singapura dan Inggris. Dengan masuknya wakaf uang dalam peraturan perundang-undangan di negeri ini, maka masyarakat tidak perlu memiliki keraguan atas keberadaan wakaf uang. Wakaf uang ini akan membuka ruang dan peluang bagi siapapun untuk bisa berwakaf dan merasakan nikmatnya mendapatkan aliran pahala yang abadi. Seseorang bisa berwakaf dengan nilai berapapun, mulai dari ribuan, jutaan, hingga milyaran rupiah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Untuk semakin memudahkan masyarakat, maka BWI sejak 2021 telah mengembangkan platform berkahwakaf.id sebagai sarana untuk mengoptimalkan pengumpulan wakaf uang, maupun wakaf melalui uang dimana nantinya uang wakaf yang terkumpul ini digunakan untuk membiayai sejumlah program, baik di bidang pendidikan, kesehatan, dakwah, maupun ekonomi. Dengan adanya proses digitalisasi ini, maka berwakaf uang dan berwakaf melalui menjadi semakin mudah.

Selanjutnya, liiterasi yang kedua adalah terkait peruntukan harta wakaf. Pada dasarnya, yang dipahami masyarakat secara umum adalah bahwa peruntukan harta wakaf adalah untuk masjid, madrasah dan pemakaman. Padahal, peruntukan harta wakaf ini sangat luas, dan dapat mencakup seluruh bidang kehidupan selama berorientasi pada kemaslahatan dan kepentingan bersama. Harta wakaf bisa digunakan untuk berbagai keperluan, seperti rumah sakit untuk kebutuhan sektor kesehatan, pasar dan pabrik untuk keperluan pengembangan bisnis masyarakat, pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, untuk investasi di industri halal, dan lain-lain. Dengan pemahaman seperti ini, maka ketika seseorang mewakafkan harta yang dimilikinya, maka peruntukan harta wakaf tersebut bisa sangat bervariasi dan beragam. Para wakif bisa memiliki opsi yang beragam terkait peruntukan harta yang diwakafkannya.

Literasi Kelembagaan

Literasi yang ketiga adalah terkait kelembagaan pengelola wakaf atau nazhir. Dari sisi kelembagaan nazhir, data BWI menunjukkan bahwa saat ini terdapat 421 ribu nazhir perorangan, 511 nazhir institusi, dan 303 institusi nazhir wakaf uang (Laporan IWN 2021). Data ini menunjukkan bahwa mayoritas nazhir adalah individu. Sebagai pihak yang berwakaf, seorang wakif tentu akan mewakafkan hartanya pada orang yang dipercayainya, sehingga rata-rata mereka mewakafkan hartanya pada nazhir individu.

Hal ini tentu sangat wajar, karena tanpa kepercayaan, mustahil orang akan menyerahkan kepemilikan hartanya pada pihak lain. Namun pada jangka panjang, hal ini berpotensi menumbulkan persoalan, terutama jika sang nazhir telah wafat. Banyak konflik atas aset wakaf terjadi pasca wafatnya sang nazhir. Untuk itu, transformasi nazhir individu menjadi nazhir institusi perlu untuk terus didorong dan dikembangkan, agar keberlanjutan pemanfaatan dan pengembangan harta wakaf bisa terus dilakukan.

Selain itu, dalam konteks kelembagaan, perlu disosialisasikan bahwa Indonesia saat ini telah memiliki alat ukur kinerja perwakafan berupa Indeks Wakaf Nasional (IWN). IWN merupakan alat ukur kinerja perwakafan pertama di dunia, dan telah diresmikan menjadi bagian dari kebijakan BWI sejak tahun 2021 lalu. Publik dapat melihat bagaimana kondisi aktual pengelolaan wakaf ini melalui Laporan IWN yang tersedia pada website resmi BWI. Skor IWN tahun 2021 adalah 0,139, naik sedikit dari 0,123 pada tahun 2020.

Peningkatan angka IWN ini, meski kecil, menunjukkan adanya perbaikan pada pengelolaan wakaf nasional. Penulis meyakini bahwa penguatan ketiga jenis literasi di atas dapat membantu meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam upaya penguatan pembangunan wakaf nasional, sehingga peran wakaf bisa semakin optimal. Wallaahu a’lam.

 

*Penulis adalah Anggota (Komisioner) Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB

Implikasi Indeks Wakaf Nasional

Pada pertengahan Maret 2022, Badan Wakaf Indonesia melalui Pusat Kajian dan Transformasi Digital (PKTD) resmi meluncurkan Laporan Indeks Wakaf Nasional (IWN) 2021. Laporan IWN ini menjadi laporan kinerja pengelolaan wakaf nasional pertama yang diluncurkan oleh BWI, dan menjadi alat ukur kinerja perwakafan pertama di dunia. Dengan adanya laporan ini, publik dapat melihat bagaimana kondisi aktual pengelolaan wakaf saat ini. Diharapkan, keberadaan laporan ini dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistim pengelolaan wakaf di tanah air sehingga mampu mendorong peningkatan kepercayaan masyarakat.

IWN ini pada mulanya adalah hasil riset kolaborasi tim peneliti empat kampus, yaitu Unair, IPB, ITB dan UGM, yang dikembangkan melalui skema RKI (Riset Kolaborasi Indonesia) pada tahun 2020 lalu. Hasil riset ini telah diserahkan secara resmi kepada BWI pada tahun lalu, sehingga BWI kemudian mengadopsinya menjadi bagian dari kebijakan untuk menilai kinerja perwakafan nasional. Ada enam dimensi yang merepresentasikan IWN ini, yaitu dimensi regulasi, institusi, proses, sistim, outcome dan dampak (impact). Setiap dimensi ini memiliki variabel dan setiap variabel ada indikatornya. Masing-masing indikator, variabel dan dimensi memiliki bobot tersendiri.

IWN didesain untuk memiliki nilai antara 0 dan 1. Semakin mendekati angka satu, maka kinerja pengelolaan wakaf menjadi semakin baik. Sebaliknya, semakin mendekati angka nol, maka kinerjanya semakin kurang baik. Dalam konteks ini, nilai IWN ini kemudian dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu sangat kurang (IWN <0,1), kurang (0,1 ≤ IWN < 0,15), cukup (0,15 ≤ IWN < 0,3), baik (0,3 ≤ IWN < 0,4) dan sangat baik (0,4 ≤ IWN ≤ 1).

Total keseluruhan data yang diperlukan untuk menilai IWN ini berjumlah 36 jenis data. Semua data tersebut adalah data-data yang memang diperlukan untuk bisa menggambarkan kondisi aktual pengelolaan wakaf di Indonesia, seperti regulasi wakaf daerah, dukungan dana operasional BWI daerah dari APBD, jumlah nazhir perorangan, jumlah nazhir institusi, jumlah nazhir institusi yang bersertifikat ISO, jumlah mauquf alaih (penerima manfaat wakaf), jumlah unit aset wakaf produktif, jumlah sekolah wakaf, jumlah siswa sekolah wakaf, jumlah rumah sakit wakaf, jumlah visitasi pasien rumah sakit wakaf, jumlah institusi nazhir teraudit KAP (Kantor Akuntan Publik) untuk laporan keuangannya, data kepatuhan syariah, dan lain-lain.

Keberadaan data-data ini menjadi sangat penting sebagai basis informasi yang akan menentukan kebijakan perwakafan yang akan diambil. Semakin valid dan terpercaya data yang dimiliki, maka kredibilitas pengelolaan wakaf akan semakin meningkat. Database yang kredibel dan dapat dipercaya, merupakan modal yang sangat berharga dalam menilai kondisi aktual kinerja pengelolaan wakaf yang ada, sekaligus dapat meningkatkan kepercayaan publik.

Untuk itu, BWI telah merencanakan untuk mengembangkan pusat data wakaf nasional yang kuat, valid, informatif, dapat diakses secara terbuka, dan dapat diperbandingkan antar waktu, sehingga publik bisa memantau pergerakan dan perubahan data wakaf secara berkala. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai dasar untuk menilai apakah para pengelola wakaf telah menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Data menjadi kunci utamanya.

Selanjutnya, dalam Laporan Indeks Wakaf Nasional 2021 terungkap bahwa nilai IWN secara nasional mengalami kenaikan, dari 0,123 pada tahun 2020 menjadi 0,139 pada tahun 2021. Meski masih berada pada kategori kurang, namun peningkatan angka ini menunjukkan adanya perbaikan berkelanjutan pada pengelolaan wakaf nasional. Dengan kata lain, pengelolaan wakaf mengarah pada kondisi yang lebih baik. Tentu kita berharap agar kinerja di tahun 2022 ini bisa lebih baik lagi. Jika dilihat berdasarkan provinsi, terdapat tiga provinsi yang memiliki kinerja sangat baik, dua provinsi berada pada kategori baik, dan dua lainnya berada pada kategori cukup. Sebanyak lima provinsi memiliki kinerja yang kurang, dan sisanya 22 provinsi berada pada kategori sangat kurang.

Hasil pengukuran Indeks Wakaf Nasional (IWN) 2021 ini memberikan sejumlah implikasi yang perlu mendapat perhatian ke depan. Pertama, kualitas data yang menjadi parameter pengukuran IWN ini sangat bergantung pada kualitas laporan yang disampaikan, khususnya oleh BWI Perwakilan Provinsi. Karena itu, diharapkan BWI Perwakilan dapat meningkatkan kualitas data yang dimilikinya dan menyampaikan laporan secara berkala kepada BWI Pusat. Dari laporan IWN 2021, hanya enam provinsi yang mengirimkan datanya secara lengkap, sementara sisanya tidak mengirimkan, sehingga penilaian IWN dilakukan berdasarkan sumber data sekunder yang tersedia, seperti data SIWAK (Sistim Informasi Wakaf) dan SIMAS (Sistim Informasi Masjid) Kementerian Agama, SIRS (Sistim Informasi Rumah Sakit) Kementerian Kesehatan, BPS, BPN, dan lain-lain. Untuk itu, partisipasi setiap provinsi menjadi hal yang sangat penting.

Kedua, komitmen para nazhir, khususnya nazhir institusi dalam penyampaian laporan perlu ditingkatkan. Ada sejumlah data yang memerlukan laporan dari para nazhir, seperti data laporan keuangan, data sertifikasi manajemen ISO (jika ada), data jumlah aset wakaf produktif yang terverifikasi, data mauquf alaih dan lain-lain. Karena itu, BWI telah mengembangkan sistim e-reporting sebagai salah satu cara untuk memastikan agar data-data tersebut bisa terekam dengan baik sehingga kinerja nazhir dari waktu ke waktu dapat terus dipantau.

Ketiga, perlunya kolaborasi dengan para pemangku kepentingan lainnya seperti perguruan tinggi. Ini dikarenakan ada sejumlah data yang juga memerlukan kerjasama dengan mereka. Sebagai contoh, data dampak manfaat wakaf yang diterima oleh para mauquf alaih. Apakah manfaat wakaf tersebut berdampak pada peningkatan kesejahteraan mauquf alaih atau tidak. Ini tentu memerlukan riset kaji dampak yang dapat dikerjasamakan dengan kampus, dimana hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai topik penelitian para mahasiswa. Keempat, perlu dilakukan sosialisasi terus menerus mengenai IWN ini oleh BWI Pusat kepada BWI daerah dan seluruh nazhir, termasuk memberikan bimbingan teknis yang diperlukan. Wallaahu a’lam.

Dr. Irfan Syuqi Beik
Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

dipublikasikan pada Rubrik Iqtishodia Republika 24 Maret 2022

WZPI dan Penguatan Zakat Global*

Irfan Syauqi Beik**

WZF (World Zakat Forum), yang saat ini beranggotakan 40 negara, pada hari Selasa 22 Juni 2021 lalu telah melaksanakan kegiatan public expose atas alat ukur kinerja zakat global yang baru diluncurkannya, yaitu World Zakat Performance Index (WZPI). Kegiatan tersebut merupakan bagian dari sosialisasi atas konsep WZPI yang telah disusun WZF melalui institusi WZF Research and Development (WZF RnD). WZF RnD bersama dengan WZF Youth merupakan dua institusi yang diresmikan pada saat Pertemuan Tahunan dan Konferensi WZF 2020 lalu. WZF Youth merupakan sayap WZF yang ditugaskan untuk yang mengembangkan kapasitas amil muda secara internasional, sementara mandat utama WZF RnD adalah bagaimana melahirkan beragam kajian dan riset strategis yang dapat membantu negara-negara anggota WZF dalam mengoptimalkan semua potensi zakat yang dimilikinya.

Lahirnya WZPI yang diinisiasi oleh WZF RnD merupakan terobosan yang sangat luar biasa dalam konteks gerakan zakat dunia. Sebelum adanya WZPI, dunia perzakatan global belum memiliki alat ukur kinerja perzakatan yang dapat dibandingkan antara satu negara dengan negara lainnya. Untuk itu, peluncuran WZPI merupakan langkah maju yang menjadi tonggak bersejarah bagi gerakan zakat dunia. Tinggal bagaimana WZPI ini diterapkan secara bertahap, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di setiap negara anggota WZF.

Secara umum, WZPI terdiri atas lima dimensi utama. Kelimanya adalah landasan hukum, supervisi (pengawasan) zakat, pelaporan zakat, penghimpunan zakat, dan penyaluran zakat. Setiap dimensi ini memiliki variabel yang dinilai berdasarkan kriteria tertentu yang diukur melalui skala Likert. WZPI ini didesain sebagai multi-stage weighted index, dimana setiap dimensi dan variabel dapat dihitung nilai indeksnya masing-masing. Dengan kata lain, seluruh komponen penyusun indeks ini dapat dipecah menjadi indeks tersendiri, dan WZPI pada dasarnya merupakan agregasi dari indeks-indeks komponen pembentuknya.

Pada dimensi yang pertama, yaitu landasan (pondasi) hukum, ada tiga variabel yang dijadikan sebagai referensi penilaian. Pertama, adanya bingkai hukum yang menjadi dasar beroperasinya suatu lembaga zakat atau lembaga filantropi Islam. Landasan hukum ini dapat berupa UU zakat, atau bisa juga juga berupa UU yang dapat dijadikan sebagai rujukan oleh lembaga zakat apabila suatu negara belum memiliki UU zakat. Misalnya, UU tentang yayasan atau UU tentang donasi sosial.

Saat ini di dunia Islam baru ada 17 negara anggota OKI yang memiliki UU tentang zakat termasuk Indonesia, dan satu negara muslim minoritas, yaitu Singapura, yang memiliki UU yang mewadahi kegiatan perzakatan. Dalam Muslim Administration Law Act Singapura disebutkan bahwa zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan setiap muslim yang tergolong muzakki, dan ada ancaman denda dan atau penjara bagi yang tidak menunaikannya.

Selain itu, masih pada dimensi pertama ini, variabel yang perlu diperhatikan adalah terkait aktivitas yang dapat dilakukan dan kriteria untuk lisensi atau perizinan menjadi lembaga zakat. Ini semua harus dijelaskan dalam peraturan yang ada. Tujuannya adalah memberikan kepastian hukum sehingga institusi zakat dapat beroperasi dengan baik tanpa harus khawatir akan bertentangan dengan hukum yang ada.

Selanjutnya, dimensi yang kedua adalah dimensi supervisi atau pengawasan zakat. Aspek pengawasan ini sangat penting untuk memastikan bahwa institusi zakat bekerja sesuai dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan yang berlaku. Kualitas pengawasan zakat ini sangat ditentukan oleh tiga variabel utama, yaitu pendekatan pengawasan, teknik dan alat pengawasan, serta aspek pelaporan hasil pengawasan. Institusi yang bertanggung jawab dalam hal pengawasan perlu dijelaskan oleh UU terkait. Dalam konteks Indonesia misalnya, otoritas pengawasan zakat berada di tangan Kementerian Agama dan DPR. Sementara di Inggris, lembaga zakat diatur oleh UU Yayasan dan UU tentang Charity / Donasi, dan institusi yang mengatur dan mengawasinya adalah Charity Commission (Komisi Donasi) pemerintah Inggris.

Dimensi yang ketiga adalah pelaporan zakat, dimana dalam pelaporan ini ada tiga variabel yang perlu mendapat perhatian. Ketiganya adalah laporan keuangan yang teraudit, transparansi keuangan melalui penyampaian laporan terbuka kepada masyarakat, dan adanya laporan tahunan lembaga zakat yang dapat diakses publik. Tujuan dimensi ini adalah untuk menjamin adanya akuntabilitas keuangan dan kegiatan pengelolaan zakat, sehingga kepercayaan masyarakat dapat diraih.

Adapun dua dimensi terakhir adalah dimensi penghimpunan zakat dan dimensi penyaluran zakat. Pada sisi penghimpunan, ada lima variabel yang perlu diperhatikan, yaitu manajemen pengumpulan, pertumbuhan penghimpunan zakat, manajemen risiko pengumpulan zakat, tingkat literasi zakat publik, dan basis data muzakki. Sementara pada sisi penyaluran, terdapat lima variabel yang menentukan kualitas penyaluran zakat, yaitu manajemen penyaluran, rasio ACR (Allocation to Collection Ratio) yang membandingkan jumlah yang disalurkan dengan jumlah yang dihimpun, pengukuran dampak zakat terhadap mustahik, manajemen risiko penyaluran, dan basis data mustahik.

Dengan adanya indeks WZPI ini diharapkan kualitas tata kelola perzakatan dapat ditingkatkan. Juga WZPI ini dapat dijadikan sebagai alat untuk menilai hal-hal apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan pengelolaan zakat yang ada saat ini, sehingga dapat diformulasikan kebijakan zakat yang tepat dan efektif. Tinggal sekarang bagaimana tahapan implementasi WZPI ini. Diperlukan adanya sosialisasi yang lebih masif kepada negara anggota WZF, agar indeks ini dapat memberi manfaat seluas-luasnya bagi negara-negara anggota WZF yang ada. Wallaahu a’lam.

*Artikel telah dimuat di Rubrik Iqtishodia Republika 24 Juni 2021
**Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB