Menakar Kualitas Pengelolaan Dana Haji

Irfan Syauqi Beik
Ekonom Syariah FEM IPB University

Pada akhir Juni 2022 lalu, BPKH kembali mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk laporan keuangan tahun 2021 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini adalah kali keempat BPKH mendapatkan opini WTP secara berturut-turut. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa pengelolaan keuangan haji telah berada pada jalur yang tepat, dan telah memenuhi unsur transparansi dan akuntabilitas yang sangat diperlukan dalam meyakinkan publik bahwa dana haji telah dikelola dengan amanah dan penuh tanggung jawab.

Jika melihat kinerja keuangan yang ada, data menunjukkan bahwa saldo dana haji mengalami peningkatan sebesar 9,58 persen, dari Rp 144,91 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 158,79 triliun pada tahun 2021. Kenaikan ini melebihi target yang ditetapkan sebelumnya, yaitu sebesar Rp 155,92 triliun, sehingga realisasi yang ada pada dasarnya mencapai angka 101,84 persen dari target yang telah ditetapkan. Hal ini juga berimbas pada kenaikan total aset BPKH yang mencapai angka 10,17 persen pada tahun 2021. Data menunjukkan bahwa total aset BPKH berada pada angka Rp 160,60 triliun pada tahun 2021, naik dari Rp 145,77 triliun pada tahun 2020.

Dari sisi penempatan dan investasi dana haji, BPKH juga mampu meningkatkan proporsi investasi pada instrumen-instrumen ekonomi dan keuangan syariah yang memberi return lebih baik. Pada tahun 2021, proporsi penempatan dana di perbankan syariah mencapai angka 28,74 persen, turun dari angka 31,28 persen pada tahun 2020. Sedangkan proporsi investasi pada tahun 2021 mencapai angka 71,26 persen, naik dari angka 68,72 persen pada tahun sebelumnya. Dengan kata lain, BPKH mampu mampu memperkecil proporsi penempatan dana pada level di bawah 30 persen, dan memperbesar porsi investasi hingga melebihi angka 70 persen.

Kebijakan BPKH untuk menaikkan proporsi investasi ini merupakan pilihan yang sangat baik dan strategis. Kenaikan proporsi investasi ini tentu berdampak pada perolehan nilai manfaat yang didapat BPKH. Berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan BPKH, tercatat perolehan nilai manfaat pengelolaan keuangan haji pada tahun 2021 mencapai angka Rp 10,50 triliun, naik 41,32 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai angka Rp 7,43 triliun.

Kenaikan nilai manfaat ini bersumber dari nilai manfaat pada penempatan dana haji sebesar Rp 1,85 triliun dan nilai manfaat investasi sebesar Rp 8,14 triliun. Sisanya berasal dari sumber-sumber lainnya yang mencapai angka Rp 500 miliar. Secara keseluruhan, kenaikan nilai manfaat ini melebihi dari target yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp 9,25 triliun. Imbasnya, besaran nilai manfaat yang disalurkan pada rekening virtual para calon jemaah haji juga mengalami peningkatan sebesar 25 persen, dari Rp 2 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 2,5 triliun pada tahun 2021.

Adapun dari sisi rasio keuangan, BPKH juga berhasil menjaga rasio likuiditas wajib, dimana sesuai peraturan perundang-undangan, BPKH wajib menjaga likuiditas ini senilai dua kali biaya penyelenggaraan ibadah haji. Pada tahun 2021, rasio likuiditas wajib ini dapat dijaga di level 2,98 kali biaya penyelenggaraan ibadah haji. Selain itu, rasio solvabilitas dapat dijaga pada level di bawah 100 persen. Raso solvabilitas BPKH pada tahun 2021 mencapai angka 88,86 persen.

Nilai rasio likuiditas wajib dan rasio solvabilitas ini pada dasarnya menunjukkan tingkat keamanan dana haji. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa dana haji yang dikelola oleh BPKH sesungguhnya berada dalam kondisi yang aman. Hal ini dapat menjadi jawaban atas keragu-raguan publik terhadap keamanan dana haji yang telah disetorkan para calon jemaah haji.

Sementara itu dari sisi beban biaya operasional BPKH, meski data menunjukkan adanya peningkatan beban operasional dari Rp 159,38 miliar pada 2020 menjadi Rp 234,01 miliar pada 2021, namun nilai CIR (Cost to Income Ratio)-nya tetap berada di bawah ambang batas 5 persen, yaitu sebesar 2,23 persen. Ini menunjukkan kemampuan pengelolaan keuangan haji yang sangat efisien.

Selain mengelola dana tunggu haji yang bersumber dari para calon jemaah haji, BPKH juga mengelola Dana Abadi Umat (DAU). Jumlah DAU ini juga meningkat dari Rp 3,68 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 3,74 triliun pada tahun 2021. Adapun pendapatan nilai manfaat dari DAU ini juga naik, dari Rp 229,22 miliar pada 2020 menjadi Rp 237,62 miliar pada 2021. Kenaikan ini berdampak pada program kemaslahatan yang dilakukan BPKH, dimana alokasi dana program kemaslahatan ini juga meningkat dari Rp 131,64 miliar pada 2020 menjadi Rp 189,45 miliar pada 2021, atau naik 43,91 persen.

Namun demikian, jumlah pendaftar baru calon jemaah haji mengalami penurunan, dari 418 ribu orang pada 2020 menjadi 270,9 ribu orang pada 2021. Meski turun, namun akumulasi total calon jemaah haji yang masuk daftar tunggu (waiting list) naik dari 4,99 juta orang pada 2020 menjadi 5,21 juta orang pada 2021. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bersama seluruh negara-negara Islam untuk bersama-sama memikirkan upaya memperpendek masa tunggu ibadah haji ini.

Selanjutnya, dari sisi makro, pengelolaan dana haji ini memiliki sejumlah implikasi. Pertama, dana haji yang diinvestasikan melalui instrumen SBSN / sukuk negara, selain memberikan nilai manfaat yang dapat digunakan untuk kepentingan jemaah haji, juga dapat membantu program-program strategis pembangunan nasional. Dana haji dapat membantu memperbesar ruang fiskal yang diperlukan untuk membangun bangsa ini. Diharapkan hal ini berdampak positif pada penguatan pertumbuhan ekonomi nasional.

Kedua, dari perspektif pembangunan ekosistem ekonomi syariah, pengelolaan dana haji ini dapat berperan dalam mendorong pengembangan sisi supply perekonomian. Keberadaan Bank Muamalat yang saat ini berada di bawah kepemilikan BPKH sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP), harus dapat dimanfaatkan dengan baik untuk memperkuat ekosistem pengelolaan haji dan umrah yang terintegrasi dari hulu ke hilir, sehingga dapat memberikan multiplier effect yang signifikan terhadap kondisi perekonomian. Dengan demikian, kontribusi dana haji terhadap pembangunan ekonomi syariah bisa semakin besar.

Ketiga, penyaluran nilai manfaat DAU dalam program-program kemaslahatan dapat menjadi jalan untuk membantu penguatan akses pendanaan program-program sosial keumatan, seperti peningkatan kualitas lembaga pendidikan, pesantren dan dakwah, serta dapat juga membantu upaya penurunan angka kemiskinan. Tinggal desain program kemaslahatan ini perlu didorong lebih variatif dan inovatif sehingga ruang-ruang pemberdayaan masyarakat bisa ditingkatkan. Program kemaslahatan ini juga telah berkontribusi dalam upaya mereduksi dampak pandemi covid-19 di tahun 2021.

Dengan kondisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan BPKH sangat baik, transparan dan akuntabel. Ini menjadi bekal yang sangat baik dalam menjaga dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap BPKH. Semoga kualitas pengelolaan dana haji ini bisa terus dijaga dan ditingkatkan ke depannya. Wallaahu a’lam.

Memperkuat Literasi Wakaf

Irfan Syauqi Beik*

Sektor perwakafan di Indonesia terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya animo berwakaf masyarakat dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data yang ada, pengumpulan wakaf uang periode 2018-2021 mencapai angka Rp 855 miliar, naik 235,29 persen dari pengumpulan wakaf sepanjang periode 2011-2018 yang mencapai angka Rp 255 miliar. Namun angka ini baru mencapai setengah persen dari total potensi wakaf uang yang mencapai angka Rp 180 triliun. Jadi gap antara potensi dengan realisasinya masih sangat besar.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya kesenjangan antara potensi dan realisasi wakaf adalah masih rendahnya tingkat literasi wakaf masyarakat. Studi yang dilakukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Kementerian Agama tahun 2020 lalu menunjukkan bahwa skor indeks literasi wakaf baru mencapai angka 50,48 yang berada pada kategori rendah. Ini berarti tingkat pemahaman publik terhadap wakaf masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Karena itu, penguatan program literasi menjadi kata kunci yang perlu mendapat perhatian seluruh pegiat perwakafan di Indonesia.

Tiga Konsep Literasi

Dalam konteks penguatan literasi ini, ada tiga konsep literasi yang perlu disosialisasikan, yaitu literasi tentang harta obyek wakaf, literasi tentang peruntukan harta benda wakaf, dan literasi kelembagaan wakaf.

Pertama, literasi tentang harta obyek wakaf atau mauquf bihi, dimana harta yang bisa diwakafkan bukan hanya berupa aset tetap seperti rumah, sawah dan gedung, namun dapat juga berupa uang. Masih banyak warga masyarakat yang belum memahami konsepsi wakaf uang ini dengan benar, dan bahkan masih ragu apakah wakaf uang diperbolehkan secara syariah atau tidak. Padahal Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 2002 telah mengeluarkan fatwa mengenai wakaf uang, yang menegaskan bahwa mewakafkan uang adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah. Dalam fatwanya tersebut, selain menyitir ayat-ayat Al-Quran seperti QS 3:92 dan QS 2:261-262 dan hadits-hadits terkait, MUI juga merujuk pada pendapat sejumlah ulama terkemuka dalam sejarah, antara lain Imam Az-Zuhri, dan sejumlah ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafii.

Imam Az-Zuhri (wafat tahun 124 H) menyatakan bahwa boleh mewakafkan uang dinar, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha dan kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf alaih (penerima manfaat wakaf). Dijadikan sebagai modal usaha, atau dalam bahasa lain diinvestasikan, pada dasarnya merupakan upaya untuk menjaga nilai pokok dari uang tersebut agar tidak berkurang. Demikian pula Abu Tsaur yang meriwayatkan dari Imam Syafii tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (wakaf uang). Intinya, berwakaf uang merupakan sesuatu yang sesuai dengan syariah. Dalam prakteknya, wakaf uang ini juga telah berkembang dari masa ke masa, dan puncaknya adalah pada masa kekhilafahan Turki Usmani, dimana wakaf uang menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi utama dunia selama kurang lebih tiga abad.

Adapun saat ini, wakaf uang juga telah dipraktekkan di berbagai belahan dunia, seperti di Malaysia, Arab Saudi, Singapura dan Inggris. Dengan masuknya wakaf uang dalam peraturan perundang-undangan di negeri ini, maka masyarakat tidak perlu memiliki keraguan atas keberadaan wakaf uang. Wakaf uang ini akan membuka ruang dan peluang bagi siapapun untuk bisa berwakaf dan merasakan nikmatnya mendapatkan aliran pahala yang abadi. Seseorang bisa berwakaf dengan nilai berapapun, mulai dari ribuan, jutaan, hingga milyaran rupiah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Untuk semakin memudahkan masyarakat, maka BWI sejak 2021 telah mengembangkan platform berkahwakaf.id sebagai sarana untuk mengoptimalkan pengumpulan wakaf uang, maupun wakaf melalui uang dimana nantinya uang wakaf yang terkumpul ini digunakan untuk membiayai sejumlah program, baik di bidang pendidikan, kesehatan, dakwah, maupun ekonomi. Dengan adanya proses digitalisasi ini, maka berwakaf uang dan berwakaf melalui menjadi semakin mudah.

Selanjutnya, liiterasi yang kedua adalah terkait peruntukan harta wakaf. Pada dasarnya, yang dipahami masyarakat secara umum adalah bahwa peruntukan harta wakaf adalah untuk masjid, madrasah dan pemakaman. Padahal, peruntukan harta wakaf ini sangat luas, dan dapat mencakup seluruh bidang kehidupan selama berorientasi pada kemaslahatan dan kepentingan bersama. Harta wakaf bisa digunakan untuk berbagai keperluan, seperti rumah sakit untuk kebutuhan sektor kesehatan, pasar dan pabrik untuk keperluan pengembangan bisnis masyarakat, pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, untuk investasi di industri halal, dan lain-lain. Dengan pemahaman seperti ini, maka ketika seseorang mewakafkan harta yang dimilikinya, maka peruntukan harta wakaf tersebut bisa sangat bervariasi dan beragam. Para wakif bisa memiliki opsi yang beragam terkait peruntukan harta yang diwakafkannya.

Literasi Kelembagaan

Literasi yang ketiga adalah terkait kelembagaan pengelola wakaf atau nazhir. Dari sisi kelembagaan nazhir, data BWI menunjukkan bahwa saat ini terdapat 421 ribu nazhir perorangan, 511 nazhir institusi, dan 303 institusi nazhir wakaf uang (Laporan IWN 2021). Data ini menunjukkan bahwa mayoritas nazhir adalah individu. Sebagai pihak yang berwakaf, seorang wakif tentu akan mewakafkan hartanya pada orang yang dipercayainya, sehingga rata-rata mereka mewakafkan hartanya pada nazhir individu.

Hal ini tentu sangat wajar, karena tanpa kepercayaan, mustahil orang akan menyerahkan kepemilikan hartanya pada pihak lain. Namun pada jangka panjang, hal ini berpotensi menumbulkan persoalan, terutama jika sang nazhir telah wafat. Banyak konflik atas aset wakaf terjadi pasca wafatnya sang nazhir. Untuk itu, transformasi nazhir individu menjadi nazhir institusi perlu untuk terus didorong dan dikembangkan, agar keberlanjutan pemanfaatan dan pengembangan harta wakaf bisa terus dilakukan.

Selain itu, dalam konteks kelembagaan, perlu disosialisasikan bahwa Indonesia saat ini telah memiliki alat ukur kinerja perwakafan berupa Indeks Wakaf Nasional (IWN). IWN merupakan alat ukur kinerja perwakafan pertama di dunia, dan telah diresmikan menjadi bagian dari kebijakan BWI sejak tahun 2021 lalu. Publik dapat melihat bagaimana kondisi aktual pengelolaan wakaf ini melalui Laporan IWN yang tersedia pada website resmi BWI. Skor IWN tahun 2021 adalah 0,139, naik sedikit dari 0,123 pada tahun 2020.

Peningkatan angka IWN ini, meski kecil, menunjukkan adanya perbaikan pada pengelolaan wakaf nasional. Penulis meyakini bahwa penguatan ketiga jenis literasi di atas dapat membantu meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam upaya penguatan pembangunan wakaf nasional, sehingga peran wakaf bisa semakin optimal. Wallaahu a’lam.

 

*Penulis adalah Anggota (Komisioner) Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB

Implikasi Indeks Wakaf Nasional

Pada pertengahan Maret 2022, Badan Wakaf Indonesia melalui Pusat Kajian dan Transformasi Digital (PKTD) resmi meluncurkan Laporan Indeks Wakaf Nasional (IWN) 2021. Laporan IWN ini menjadi laporan kinerja pengelolaan wakaf nasional pertama yang diluncurkan oleh BWI, dan menjadi alat ukur kinerja perwakafan pertama di dunia. Dengan adanya laporan ini, publik dapat melihat bagaimana kondisi aktual pengelolaan wakaf saat ini. Diharapkan, keberadaan laporan ini dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistim pengelolaan wakaf di tanah air sehingga mampu mendorong peningkatan kepercayaan masyarakat.

IWN ini pada mulanya adalah hasil riset kolaborasi tim peneliti empat kampus, yaitu Unair, IPB, ITB dan UGM, yang dikembangkan melalui skema RKI (Riset Kolaborasi Indonesia) pada tahun 2020 lalu. Hasil riset ini telah diserahkan secara resmi kepada BWI pada tahun lalu, sehingga BWI kemudian mengadopsinya menjadi bagian dari kebijakan untuk menilai kinerja perwakafan nasional. Ada enam dimensi yang merepresentasikan IWN ini, yaitu dimensi regulasi, institusi, proses, sistim, outcome dan dampak (impact). Setiap dimensi ini memiliki variabel dan setiap variabel ada indikatornya. Masing-masing indikator, variabel dan dimensi memiliki bobot tersendiri.

IWN didesain untuk memiliki nilai antara 0 dan 1. Semakin mendekati angka satu, maka kinerja pengelolaan wakaf menjadi semakin baik. Sebaliknya, semakin mendekati angka nol, maka kinerjanya semakin kurang baik. Dalam konteks ini, nilai IWN ini kemudian dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu sangat kurang (IWN <0,1), kurang (0,1 ≤ IWN < 0,15), cukup (0,15 ≤ IWN < 0,3), baik (0,3 ≤ IWN < 0,4) dan sangat baik (0,4 ≤ IWN ≤ 1).

Total keseluruhan data yang diperlukan untuk menilai IWN ini berjumlah 36 jenis data. Semua data tersebut adalah data-data yang memang diperlukan untuk bisa menggambarkan kondisi aktual pengelolaan wakaf di Indonesia, seperti regulasi wakaf daerah, dukungan dana operasional BWI daerah dari APBD, jumlah nazhir perorangan, jumlah nazhir institusi, jumlah nazhir institusi yang bersertifikat ISO, jumlah mauquf alaih (penerima manfaat wakaf), jumlah unit aset wakaf produktif, jumlah sekolah wakaf, jumlah siswa sekolah wakaf, jumlah rumah sakit wakaf, jumlah visitasi pasien rumah sakit wakaf, jumlah institusi nazhir teraudit KAP (Kantor Akuntan Publik) untuk laporan keuangannya, data kepatuhan syariah, dan lain-lain.

Keberadaan data-data ini menjadi sangat penting sebagai basis informasi yang akan menentukan kebijakan perwakafan yang akan diambil. Semakin valid dan terpercaya data yang dimiliki, maka kredibilitas pengelolaan wakaf akan semakin meningkat. Database yang kredibel dan dapat dipercaya, merupakan modal yang sangat berharga dalam menilai kondisi aktual kinerja pengelolaan wakaf yang ada, sekaligus dapat meningkatkan kepercayaan publik.

Untuk itu, BWI telah merencanakan untuk mengembangkan pusat data wakaf nasional yang kuat, valid, informatif, dapat diakses secara terbuka, dan dapat diperbandingkan antar waktu, sehingga publik bisa memantau pergerakan dan perubahan data wakaf secara berkala. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai dasar untuk menilai apakah para pengelola wakaf telah menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Data menjadi kunci utamanya.

Selanjutnya, dalam Laporan Indeks Wakaf Nasional 2021 terungkap bahwa nilai IWN secara nasional mengalami kenaikan, dari 0,123 pada tahun 2020 menjadi 0,139 pada tahun 2021. Meski masih berada pada kategori kurang, namun peningkatan angka ini menunjukkan adanya perbaikan berkelanjutan pada pengelolaan wakaf nasional. Dengan kata lain, pengelolaan wakaf mengarah pada kondisi yang lebih baik. Tentu kita berharap agar kinerja di tahun 2022 ini bisa lebih baik lagi. Jika dilihat berdasarkan provinsi, terdapat tiga provinsi yang memiliki kinerja sangat baik, dua provinsi berada pada kategori baik, dan dua lainnya berada pada kategori cukup. Sebanyak lima provinsi memiliki kinerja yang kurang, dan sisanya 22 provinsi berada pada kategori sangat kurang.

Hasil pengukuran Indeks Wakaf Nasional (IWN) 2021 ini memberikan sejumlah implikasi yang perlu mendapat perhatian ke depan. Pertama, kualitas data yang menjadi parameter pengukuran IWN ini sangat bergantung pada kualitas laporan yang disampaikan, khususnya oleh BWI Perwakilan Provinsi. Karena itu, diharapkan BWI Perwakilan dapat meningkatkan kualitas data yang dimilikinya dan menyampaikan laporan secara berkala kepada BWI Pusat. Dari laporan IWN 2021, hanya enam provinsi yang mengirimkan datanya secara lengkap, sementara sisanya tidak mengirimkan, sehingga penilaian IWN dilakukan berdasarkan sumber data sekunder yang tersedia, seperti data SIWAK (Sistim Informasi Wakaf) dan SIMAS (Sistim Informasi Masjid) Kementerian Agama, SIRS (Sistim Informasi Rumah Sakit) Kementerian Kesehatan, BPS, BPN, dan lain-lain. Untuk itu, partisipasi setiap provinsi menjadi hal yang sangat penting.

Kedua, komitmen para nazhir, khususnya nazhir institusi dalam penyampaian laporan perlu ditingkatkan. Ada sejumlah data yang memerlukan laporan dari para nazhir, seperti data laporan keuangan, data sertifikasi manajemen ISO (jika ada), data jumlah aset wakaf produktif yang terverifikasi, data mauquf alaih dan lain-lain. Karena itu, BWI telah mengembangkan sistim e-reporting sebagai salah satu cara untuk memastikan agar data-data tersebut bisa terekam dengan baik sehingga kinerja nazhir dari waktu ke waktu dapat terus dipantau.

Ketiga, perlunya kolaborasi dengan para pemangku kepentingan lainnya seperti perguruan tinggi. Ini dikarenakan ada sejumlah data yang juga memerlukan kerjasama dengan mereka. Sebagai contoh, data dampak manfaat wakaf yang diterima oleh para mauquf alaih. Apakah manfaat wakaf tersebut berdampak pada peningkatan kesejahteraan mauquf alaih atau tidak. Ini tentu memerlukan riset kaji dampak yang dapat dikerjasamakan dengan kampus, dimana hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai topik penelitian para mahasiswa. Keempat, perlu dilakukan sosialisasi terus menerus mengenai IWN ini oleh BWI Pusat kepada BWI daerah dan seluruh nazhir, termasuk memberikan bimbingan teknis yang diperlukan. Wallaahu a’lam.

Dr. Irfan Syuqi Beik
Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

dipublikasikan pada Rubrik Iqtishodia Republika 24 Maret 2022

WZPI dan Penguatan Zakat Global*

Irfan Syauqi Beik**

WZF (World Zakat Forum), yang saat ini beranggotakan 40 negara, pada hari Selasa 22 Juni 2021 lalu telah melaksanakan kegiatan public expose atas alat ukur kinerja zakat global yang baru diluncurkannya, yaitu World Zakat Performance Index (WZPI). Kegiatan tersebut merupakan bagian dari sosialisasi atas konsep WZPI yang telah disusun WZF melalui institusi WZF Research and Development (WZF RnD). WZF RnD bersama dengan WZF Youth merupakan dua institusi yang diresmikan pada saat Pertemuan Tahunan dan Konferensi WZF 2020 lalu. WZF Youth merupakan sayap WZF yang ditugaskan untuk yang mengembangkan kapasitas amil muda secara internasional, sementara mandat utama WZF RnD adalah bagaimana melahirkan beragam kajian dan riset strategis yang dapat membantu negara-negara anggota WZF dalam mengoptimalkan semua potensi zakat yang dimilikinya.

Lahirnya WZPI yang diinisiasi oleh WZF RnD merupakan terobosan yang sangat luar biasa dalam konteks gerakan zakat dunia. Sebelum adanya WZPI, dunia perzakatan global belum memiliki alat ukur kinerja perzakatan yang dapat dibandingkan antara satu negara dengan negara lainnya. Untuk itu, peluncuran WZPI merupakan langkah maju yang menjadi tonggak bersejarah bagi gerakan zakat dunia. Tinggal bagaimana WZPI ini diterapkan secara bertahap, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di setiap negara anggota WZF.

Secara umum, WZPI terdiri atas lima dimensi utama. Kelimanya adalah landasan hukum, supervisi (pengawasan) zakat, pelaporan zakat, penghimpunan zakat, dan penyaluran zakat. Setiap dimensi ini memiliki variabel yang dinilai berdasarkan kriteria tertentu yang diukur melalui skala Likert. WZPI ini didesain sebagai multi-stage weighted index, dimana setiap dimensi dan variabel dapat dihitung nilai indeksnya masing-masing. Dengan kata lain, seluruh komponen penyusun indeks ini dapat dipecah menjadi indeks tersendiri, dan WZPI pada dasarnya merupakan agregasi dari indeks-indeks komponen pembentuknya.

Pada dimensi yang pertama, yaitu landasan (pondasi) hukum, ada tiga variabel yang dijadikan sebagai referensi penilaian. Pertama, adanya bingkai hukum yang menjadi dasar beroperasinya suatu lembaga zakat atau lembaga filantropi Islam. Landasan hukum ini dapat berupa UU zakat, atau bisa juga juga berupa UU yang dapat dijadikan sebagai rujukan oleh lembaga zakat apabila suatu negara belum memiliki UU zakat. Misalnya, UU tentang yayasan atau UU tentang donasi sosial.

Saat ini di dunia Islam baru ada 17 negara anggota OKI yang memiliki UU tentang zakat termasuk Indonesia, dan satu negara muslim minoritas, yaitu Singapura, yang memiliki UU yang mewadahi kegiatan perzakatan. Dalam Muslim Administration Law Act Singapura disebutkan bahwa zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan setiap muslim yang tergolong muzakki, dan ada ancaman denda dan atau penjara bagi yang tidak menunaikannya.

Selain itu, masih pada dimensi pertama ini, variabel yang perlu diperhatikan adalah terkait aktivitas yang dapat dilakukan dan kriteria untuk lisensi atau perizinan menjadi lembaga zakat. Ini semua harus dijelaskan dalam peraturan yang ada. Tujuannya adalah memberikan kepastian hukum sehingga institusi zakat dapat beroperasi dengan baik tanpa harus khawatir akan bertentangan dengan hukum yang ada.

Selanjutnya, dimensi yang kedua adalah dimensi supervisi atau pengawasan zakat. Aspek pengawasan ini sangat penting untuk memastikan bahwa institusi zakat bekerja sesuai dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan yang berlaku. Kualitas pengawasan zakat ini sangat ditentukan oleh tiga variabel utama, yaitu pendekatan pengawasan, teknik dan alat pengawasan, serta aspek pelaporan hasil pengawasan. Institusi yang bertanggung jawab dalam hal pengawasan perlu dijelaskan oleh UU terkait. Dalam konteks Indonesia misalnya, otoritas pengawasan zakat berada di tangan Kementerian Agama dan DPR. Sementara di Inggris, lembaga zakat diatur oleh UU Yayasan dan UU tentang Charity / Donasi, dan institusi yang mengatur dan mengawasinya adalah Charity Commission (Komisi Donasi) pemerintah Inggris.

Dimensi yang ketiga adalah pelaporan zakat, dimana dalam pelaporan ini ada tiga variabel yang perlu mendapat perhatian. Ketiganya adalah laporan keuangan yang teraudit, transparansi keuangan melalui penyampaian laporan terbuka kepada masyarakat, dan adanya laporan tahunan lembaga zakat yang dapat diakses publik. Tujuan dimensi ini adalah untuk menjamin adanya akuntabilitas keuangan dan kegiatan pengelolaan zakat, sehingga kepercayaan masyarakat dapat diraih.

Adapun dua dimensi terakhir adalah dimensi penghimpunan zakat dan dimensi penyaluran zakat. Pada sisi penghimpunan, ada lima variabel yang perlu diperhatikan, yaitu manajemen pengumpulan, pertumbuhan penghimpunan zakat, manajemen risiko pengumpulan zakat, tingkat literasi zakat publik, dan basis data muzakki. Sementara pada sisi penyaluran, terdapat lima variabel yang menentukan kualitas penyaluran zakat, yaitu manajemen penyaluran, rasio ACR (Allocation to Collection Ratio) yang membandingkan jumlah yang disalurkan dengan jumlah yang dihimpun, pengukuran dampak zakat terhadap mustahik, manajemen risiko penyaluran, dan basis data mustahik.

Dengan adanya indeks WZPI ini diharapkan kualitas tata kelola perzakatan dapat ditingkatkan. Juga WZPI ini dapat dijadikan sebagai alat untuk menilai hal-hal apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan pengelolaan zakat yang ada saat ini, sehingga dapat diformulasikan kebijakan zakat yang tepat dan efektif. Tinggal sekarang bagaimana tahapan implementasi WZPI ini. Diperlukan adanya sosialisasi yang lebih masif kepada negara anggota WZF, agar indeks ini dapat memberi manfaat seluas-luasnya bagi negara-negara anggota WZF yang ada. Wallaahu a’lam.

*Artikel telah dimuat di Rubrik Iqtishodia Republika 24 Juni 2021
**Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB

Riset dan Gerakan Wakaf

Irfan Syauqi Beik*

Sebagaimana diketahui bersama bahwa wakaf merupakan instrumen ekonomi keuangan sosial Islam yang memiliki potensi yang sangat besar. Namun demikian, hingga saat ini, antara potensi dengan realisasi yang ada masih terdapat kesenjangan yang sangat besar. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk meminimalisir gap diantara keduanya. Salah satunya adalah dengan melakukan penguatan dari sisi riset. Diyakini, riset yang berkualitas akan berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pengelolaan wakaf. Demikian pula sebaliknya, riset yang tidak berkualitas hanya akan memperparah situasi yang ada. Untuk itu, riset ini merupakan instrumen yang perlu dikelola dengan baik dan mendapatkan perhatian khusus.

Terkait dengan hal tersebut, maka perlu diperkuat riset wakaf yang dapat menjangkau tiga ranah utama, yaitu penelitian dasar (basic research), penelitian terapan (applied research) dan penelitian yang berorientasi pada penguatan kebijakan (policy research). Dalam konteks basic research, desain riset yang dilakukan harus mampu menghadirkan berbagai teori baru yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan keilmuan wakaf. Sementara dalam applied research, desain riset yang dilakukan harus mampu mendorong peningkatan profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan wakaf sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kelembagaan nazir yang ada.

Adapun terkait policy research, maka riset-riset yang dilakukan diharapkan dapat memberikan input yang tepat bagi perumusan kebijakan perwakafan yang dapat menghadirkan kemaslahatan publik yang lebih besar. Kebijakan yang bukan hanya mampu mendekatkan antara potensi dan realisasi wakaf, namun juga mampu memperkuat ekosistem perwakafan nasional. Riset kebijakan ini juga diharapkan dapat memberikan panduan di dalam proses pengambilan keputusan yang dibutuhkan dalam pengembangan ekosistem wakaf nasional.

Namun demikian, Badan Wakaf Indonesia (BWI) menyadari bahwa untuk memperkuat ketiga ranah penelitian tersebut diperlukan adanya kolaborasi berbagai pihak, khususnya dengan kalangan perguruan tinggi. BWI tidak bisa sendirian dalam melahirkan berbagai macam riset wakaf yang kompatibel dengan kebutuhan zaman. Terlalu berat jika harus ditangani sendiri. Karena itu, penataan hubungan kerjasama antara BWI dengan kampus menjadi sangat penting.

Jika melihat perjalanan gerakan zakat sebagai pembanding, maka pencapaian kemajuan yang diraih gerakan zakat dalam lima tahun terakhir, tidak bisa dilepaskan dari dukungan riset yang berkualitas. Produksi riset yang dilakukan BAZNAS melalui Pusat Kajian Strategisnya, ternyata mampu memberikan warna tersendiri dalam gerakan zakat nasional, yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai referensi utama pengelolaan zakat dunia saat ini. Begitu banyak terobosan yang telah dihasilkan melalui pendekatan riset yang efektif.

Diantara terobosan itu adalah lahirnya berbagai alat ukur yang mampu memperkuat pengelolaan zakat dari berbagai sisi. Indeks Zakat Nasional (IZN) misalnya, mampu menjadi instrumen yang dapat memotret kinerja sistim perzakatan nasional, baik dari sisi makro maupun dari sisi mikro. Demkian pula dengan Indeks Kepatuhan Syariah OPZ yang mampu menjawab pertanyaan mengenai aspek kesesuaian syariah dari praktik OPZ yang ada di lapangan. Kepatuhan terhadap syariah menjadi hal yang sangat penting bagi institusi yang mendapat mandat untuk mengelola zakat.

Selain itu, ketika BAZNAS mengembangkan konsep zakatnomics, yang didasarkan pada empat pilar utama, yaitu keimanan/spiritualitas, produktivitas, keadilan ekonomi, dan kelembagaan ZISWAF, yang kemudian keempatnya diukur secara khusus dalam Indeks Pembangunan Zakatnomics, maka hal tersebut telah menciptakan arus pemikiran baru yang sangat kokoh dalam pengembangan ilmu perzakatan yang ada.

Pendeknya, kajian-kajian yang dilakukan telah memberikan implikasi terhadap aspek keilmuan, kelembagaan, dan sistim zakat secara keseluruhan. Inilah diantara bentuk-bentuk inovasi dan terobosan yang membuat posisi Indonesia hari ini sangat kokoh sebagai pemimpin gerakan zakat dunia.

Belajar dari keberhasilan gerakan zakat tersebut, maka gerakan wakaf, yang notabene merupakan adik kandung dari gerakan zakat, perlu untuk terus menerus membenahi dirinya. Disinilah pentingnya menata kajian-kajian wakaf yang ada, agar dampak secara keilmuan dan secara sistim perwakafan, bisa semakin signifikan.

Karena itu, opsi kolaborasi dengan kampus dalam bentuk pendirian dan pengembangan PAU (Pusat Antar Universitas) sebagai media kolaborasi dan sharing resources, menjadi pilihan yang tepat dalam kondisi hari ini. Melalui kolaborasi ini diharapkan ada interaksi yang kuat antara sisi keilmuan dengan sisi praktik dan sisi regulasi. Kita berharap bahwa interaksi yang nantinya terbangun ini, bisa memberikan pengaruh positif terhadap upaya perbaikan dan peningkatan kualitas sistim wakaf nasional. Semoga. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

 

Sumber: Rubrik Iqtishodia Republika 25 Februari 2021

Omnibus Law Cipta Kerja dan Masa Depan ZISWAF

Keberadaan UU Cipta Kerja ini tentu memberikan perubahan yang sangat fundamental, terutama pada 10 area yang menjadi ruang lingkup UU ini, yaitu : (i) peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; (ii) ketenagakerjaan; (iii) kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMKM; (iv) kemudahan berusaha; (v) dukungan riset dan inovasi; (vi) pengadaan tanah; (vii) kawasan ekonomi; (viii) investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; (ix) pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan (x) pengenaan sanksi. Keseluruhan UU yang terkait sepuluh area tersebut diubah dan menyesuaikan dengan UU Cipta Kerja ini. Dengan kata lain, aturan-aturan yang ditetapkan UU yang lain, masih terus berlaku selama tidak bertentangan dengan UU Cipta Kerja ini.

Dalam perspektif ZISWAF (zakat, infak, sedekah, dan wakaf), maka keberadaan UU Cipta Kerja pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap regulasi yang telah ada. Dalam UU No 11/2020 ini ditemukan 10 kata zakat, 4 kata wakaf, 2 kata amil, dan 2 kata nadzir. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya fokus UU Cipta Kerja ini memang tidak pada sektor zakat dan wakaf. Aturan terkait zakat dan wakaf dalam UU Cipta Kerja lebih banyak dikarenakan adanya perubahan aturan lain, seperti aturan tentang pajak dan tanah, yang berimbas pada sektor zakat dan wakaf. Padahal banyak aspirasi terhadap perubahan ketentuan perzakatan dan perwakafan agar realisasi potensi zakat dan wakaf yang sangat besar ini dapat berjalan secara optimal.

Zakat dalam UU Cipta Kerja

Secara khusus, ketentuan yang terkait langsung dengan zakat dalam UU Cipta Kerja ini terletak pada isu perpajakan khususnya Pasal 111, dimana pasal ini mengubah sejumlah ketentuan yang ada pada UU No 7/1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah diubah beberapa kali, dimana perubahan terakhir adalah pada UU No 36/2008. Pada pasal ini, dijelaskan bahwa diantara yang dikecualikan dari obyek pajak adalah bantuan atau sumbangan termasuk zakat. Syaratnya, zakat tersebut dibayarkan kepada lembaga resmi, yaitu BAZNAS dan LAZ (Lembaga Amil Zakat).

Jadi pada Pasal 111 ini, selain menegaskan kedudukan zakat sebagai obyek pajak yang dikecualikan, juga menegaskan bahwa hal tersebut bisa dilaksanakan apabila penunaian kewajiban zakat dilakukan melalui institusi resmi. Hal ini akan memperkuat kedudukan BAZNAS dan LAZ dalam konteks keabsahan bukti setor zakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perpajakan.

Namun demikian, jika melihat konstruksi aturan ini, maka sesungguhnya hal ini belum sepenuhnya sejalan dengan aspirasi umat, dimana kita menghendaki agar para pembayar zakat kepada BAZNAS dan LAZ resmi, bisa mendapatkan insentif berupa kredit pajak. Artinya, zakat menjadi pengurang pajak langsung, bukan menjadi pengurang pendapatan kena pajak sebagaimana yang terjadi saat ini. Penulis meyakini, berdasarkan pengalaman Malaysia yang telah menerapkan zakat sebagai tax rebate sejak awal tahun 90an, maka kebijakan tersebut justru menaikkan pendapatan zakat dan pajak sekaligus. Tidak ada trade off diantara zakat dan pajak, dimana yang satu naik maka yang lain akan mengalami penurunan.

Dalam konteks Indonesia, sesungguhnya penerapan zakat sebagai tax rebate bisa diujicobakan di Provinsi NAD. Di Aceh, zakat diperlakukan sebagai bagian dari komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sebagai pengurang pajak langsung. Zakat pun juga merupakan hal yang sifatnya wajib ditunaikan oleh setiap masyarakat muslim Aceh yang telah memenuhi syarat sebagai muzakki. Hal ini sejalan dengan UU No  11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya Pasal 192. Namun hingga saat ini, ketentuan tersebut belum dapat diakomodir dan dilaksanakan karena dianggap tidak sesuai dengan UU Pajak Penghasilan.

Seharusnya, semua pihak, terutama pemerintah pusat dan pemerintah provinsi NAD bersama-sama menjadikan Aceh sebagai laboratorium untuk menguji tesis terkait pengalaman Malaysia. Apakah yang terjadi di negeri jiran tersebut dapat juga terjadi di Indonesia atau tidak. Inilah kesempatan untuk membuktikan hal tersebut melalui implementasi zakat sebagai pengurang pajak langsung di Aceh.

Alternatif lain, penulis mengusulkan agar zakat bisa dimasukkan sebagai pos keempat penerimaan negara, melengkapi pajak, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan penerimaan hibah dan lain-lain. Di Aceh, hal ini sudah diterapkan dimana zakat dijadikan sebagai salah satu komponen PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kontribusi zakat cukup baik terhadap PAD Aceh, baik PAD provinsi maupun kabupaten kota. Tahun 2018 lalu misalnya, kontribusi zakat terhadap PAD Provinsi Aceh mencapai angka Rp 86,43  milyar dari keseluruhan PAD sebesar Rp 2,4 trilyun. Namun jika di-break down lebih dalam, maka PAD zakat ini nilainya lebih besar dari pendapatan retribusi daerah yang mencapai angka Rp 28,8 milyar. Ini menunjukkan bahwa keberadaan zakat membawa implikasi penting pada struktur penerimaan daerah.

Dengan pengalaman di Aceh, maka peluang penerapan kebijakan zakat sebagai pos keempat penerimaan negara sangat mungkin dilakukan, dengan syarat bahwa aturan pengeluaran zakat dibedakan dengan aturan pajak, PNBP, dan penerimaan hibah dan lain-lain. Zakat yang diterima harus segera disalurkan untuk kepentingan para mustahik, melalui berbagai program yang bersifat konsumtif maupun produktif, jangka pendek maupun jangka panjang. Dana zakat tidak boleh ditahan terlalu lama karena akan berdampak pada kesejahteraan mustahik.  Sebagai pos keempat, maka keberadaan zakat sebagai pengurang pajak langsung tidak akan mengurangi total penerimaan negara secara keseluruhan. Tinggal sekarang, apakah keputusan politik negara bisa mengakomodasi aspirasi ini atau tidak. Ini adalah pekerjaan rumah politik zakat di Indonesia.

Hal krusial lainnya adalah belum diterapkannya kewajiban zakat dari sisi hukum negara kepada mereka yang sudah termasuk dalam kategori muzakki. UU yang ada lebih banyak mengatur aspek kelembagaan pengelola zakat, yang terdiri atas BAZNAS dan LAZ, dan belum mengatur kewajiban menunaikan zakat dari sisi hukum positif. Dengan kata lain, dari sudut hukum negara maka zakat masih dianggap sebagai sesuatu yang bersifat sukarela (voluntary) dan belum bersifat wajib (mandatory).

Dalam konteks ini, Indonesia masih tertinggal oleh negara tetangga kita yaitu Singapura. Di dalam Administration Muslim Law Act, yang menjadi dasar hukum pengaturan kehidupan beragama umat Islam Singapura, dijelaskan bahwa mereka yang sudah terkena kewajiban zakat namun enggan menunaikannya, diancam dengan hukuman denda sebesar SGD 500 (sekitar Rp 5,4 juta) atau penjara selama 6 bulan atau kedua-duanya, denda dan penjara. Ini untuk zakat harta (maal). Sementara jika tidak membayar zakat fitrah, maka dapat didenda sebesar SGD 50 (Rp 540 ribu) atau penjara selama satu bulan, atau kedua-duanya. Kewajiban zakat tersebut harus ditunaikan melalui Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) yang merupakan lembaga negara yang bertanggung jawab dalam menangani urusan keagamaan umat Islam di Singapura.

Pelajaran dari Singapura seharusnya memberikan gambaran kepada kita bahwa Indonesia sebagai negara muslim mayoritas, tidak perlu ragu dalam menjadikan zakat sebagai sesuatu yang wajib dari sisi hukum positif layaknya pajak. Apabila ini dilakukan, maka realisasi pengumpulan zakat akan mendekati atau bahkan sama dengan potensinya yang mencapai angka Rp 233,8 trilyun, sesuai dengan studi Pusat Kajian Strategis BAZNAS tahun 2019 lalu.

Wakaf dalam UU Cipta Kerja

Selanjutnya, aturan terkait wakaf dalam UU Cipta Kerja ini terdapat pada Pasal 123 terkait dengan obyek pengadaan tanah. Jika terdapat perubahan lokasi tanah wakaf, maka nilai ganti rugi yang dikenakan harus sama dengan nilai hasil penilaian penilai atas harta benda wakaf yang diganti. Pihak yang berhak menerima ganti rugi ini adalah nazir, sebagai institusi yang diberi mandat dalam mengelola wakaf. Dengan konstruksi UU Cipta Kerja ini, fokus wakaf yang dibahas dalam UU ini hanyalah terkait dengan tanah wakaf, itu pun spesifik terkait dengan ganti rugi.

Namun demikian, yang perlu diwaspadai dalam prakteknya adalah jangan sampai ruislag tanah wakaf ini sedemikian mudah dilakukan. Jika ini dibiarkan, maka ada potensi terjadinya konversi lahan wakaf strategis menjadi lahan non-wakaf, sementara lokasinya dapat dipindahkan ke lokasi yang tidak strategis selama nilainya masih sama. Jika ada tanah 100 meter persegi di lokasi strategis dengan nilai Rp 1 milyar, kemudian diganti dengan tanah seluas 200 meter persegi dengan nilai yang sama namun di lokasi yang tidak strategis, maka hal tersebut akan mengurangi nilai ekonomi dari tanah wakaf tersebut. Jangan sampai, atas nama investasi, terjadi peningkatan laju konversi lahan wakaf ke tempat yang tidak strategis.

Yang seharusnya diperhatikan justru bagaimana mengamankan lahan produktif, khususnya untuk sektor pertanian, agar jangan sampai dikonversi menjadi lahan untuk pengembangan sektor lain, seperti perumahan, yang dapat mengurangi kapasitas produksi pangan kita. Disinilah pentingnya wakaf dalam menahan laju konversi lahan produktif tersebut. Kita dapat menjadikannya sebagai program nasional perlindungan lahan produktif melalui mekanisme wakaf.

Dalam hal ini, BWI (Badan Wakaf Indonesia) dapat mengembangkan program Wakaf Lahan Pertanian (WLP) dengan melakukan dua hal. Pertama, membuka kesempatan kepada mereka yang memiliki lahan produktif untuk menjadi wakif dengan mewakafkan tanahnya melalui BWI. Kedua, BWI melakukan penggalangan wakaf uang, yang nantinya akan digunakan untuk membeli lahan produktif dari pemilik lahan yang membutuhkan dana. Jika ini dilakukan secara masif, maka tentu akan berdampak pada penguatan kedaulatan pangan negeri ini.

Literasi ZISWAF

Dari pembahasan UU Cipta Kerja ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa literasi ZISWAF para pengambil kebijakan masih perlu ditingkatkan. Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi yang menyeluruh agar ZISWAF dipahami bukan hanya sebagai instrumen agama, namun juga sebagai instrumen sosial ekonomi yang memiliki dampak pada upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, termasuk mitigasi terhadap dampak pandemi Covid-19. Selain itu ZISWAF juga harus ditempatkan dalam konteks membangun sistem ekonomi yang berkeadilan, karena ZISWAF mampu menjamin adanya aliran kekayaan dari kelompok mampu kepada kelompok tidak mampu. Secara makro, ini juga akan semakin mengurangi ketimpangan dan kesenjangan ekonomi.

Ketika membahas ekosistem investasi dan kegiatan berusaha serta perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan UMKM, sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja, ZISWAF memiliki potensi besar dalam menunjang terwujudnya ekosistem yang dimaksud ketika ditempatkan pada posisi yang tepat. Dana zakat dapat disalurkan untuk memberikan bantuan modal kerja bagi usaha mikro dan kecil agar bisa terus tumbuh dan berkembang, sehingga bisa naik kelas menjadi usaha menengah dan usaha besar. Demikian pula wakaf uang dapat disalurkan sebagai modal bagi UMKM dengan skema pembiayaan yang tidak memberatkan UMKM.

Sebagai contoh, sepanjang periode Januari – Oktober 2020, BAZNAS Pusat telah menyalurkan bantuan ekonomi kepada 131,7 ribu mustahik di berbagai wilayah di Indonesia. Program ekonomi dilakukan dengan berbagai pendekatan. Ada yang melalui pendekatan community development, pendekatan microfinance dengan skema qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga), pendekatan produksi melalui program mustahik pengusaha dan mustahik peternak, pendekatan program strategis seperti lumbung pangan, dan penguatan akses pasar agar barang dan jasa yang diproduksi mustahik dapat diserap pasar dengan baik.

Selain itu, BAZNAS dan LAZ seluruh Indonesia juga sangat aktif dalam memitigasi dampak pandemi covid-19 ini melalui tiga program utama yang dilakukannya, yaitu darurat kesehatan, darurat sosial ekonomi, dan menjaga keberlangsungan program existing agar mustahik yang telah dibantu dapat survive di masa pandemi ini. Dana ZIS yang telah disalurkan mencapai angka hampir 800 milyar rupiah dimana 63 persennya disalurkan untuk program darurat sosial ekonomi, 16 persen untuk darurat kesehatan, dan 21 persen untuk menjaga keberlangsungan program existing. Jumlah masyarakat terdampak yang telah dibantu selama masa pandemi ini mencapai angka 5,6 juta jiwa.

Demikian pula wakaf memiliki peran yang tidak kalah penting dalam mendorong pembangunan masyarakat. Sejumlah proyek strategis wakaf telah dikembangkan di Indonesia. Salah satunya adalah RS Mata Achmad Wardi di Banten yang merupakan kolaborasi antara BWI dengan Dompet Dhuafa. Ini adalah contoh wakaf produktif yang memberikan manfaat bagi ribuan warga untuk bisa berobat mata secara terjangkau, dengan kualitas layanan yang baik. Selain itu, kolaborasi antara instrumen sukuk dan wakaf uang dalam bentuk produk Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) juga telah dikembangkan di Indonesia, dan ini menandakan bahwa produk-produk keuangan syariah, baik yang bersifat komersial, sosial maupun kombinasi keduanya, semakin berkembang di Indonesia.

Pada Maret 2020 lalu telah diluncurkan CWLS seri SW001, dimana ini adalah termasuk sukuk negara yang memanfaatkan wakaf uang. Skema CWLS adalah dana wakaf yang dikelola oleh lembaga nazir kemudian ditempatkan pada instrumen sukuk negara, yang nantinya akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai proyek-proyek negara yang telah direncanakan dalam APBN. Pemerintah kemudian memberikan return (imbal hasil) atas penempatan dana tersebut, dimana return atau imbal hasil tersebut kemudian disalurkan kepada para penerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih).

Selain CWLS seri SW001, pemerintah juga telah menerbitkan CWLS seri SWR001, dimana masa penawarannya berakhir pada 12 November 2020 lalu. Pada seri ini, maka individu masyarakat bisa terlibat langsung sebagai wakif, dengan cara menyetorkan dana wakaf minimal Rp 1 juta untuk membeli SWR001 melalui mitra distribusi yang ditunjuk. Dana wakaf yang terhimpun kemudian digunakan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek APBN, dan pemerintah memberikan imbal hasil atau return pada setiap dana wakaf yang disetor. Imbal hasil ini lalu disalurkan kepada para penerima manfaat (mauquf ‘alaih) melalui lembaga nazir yang ditunjuk.

Dengan adanya CWLS ini maka kita bisa berwakaf dengan dua manfaat sekaligus. Wakaf kita bisa ikut membiayai program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah, dan imbal hasil yang diterima bisa digunakan untuk membantu sesama. Penyaluran imbal hasil ini bisa berupa program beasiswa, layanan kesehatan gratis, bantuan modal UMKM, dan program-program lainnya, yang dikelola dan dikembangkan institusi nazir yang ditunjuk. Konsep wakaf yang digunakan dalam CWLS adalah wakaf muaqqot (sementara/temporer) dan bukan wakaf muabbad (abadi). Maksudnya, dana wakaf yang disetor ini memiliki tenor waktu, yang nantinya akan dikembalikan kepada wakif saat jatuh tempo. Untuk CWLS seri SWR001 misalnya, tenornya adalah dua tahun sehingga pada November 2022, dana wakaf tersebut akan dikembalikan kepada wakif. Namun insya Allah, dampak dari wakaf muaqqot ini akan bersifat abadi, selama proyek negara tersebut masih bisa digunakan oleh rakyat Indonesia.

Agar peran zakat dan wakaf semakin signifikan ke depan, maka literasi publik terhadap ZISWAF ini perlu ditingkatkan. Hasil survey Indeks Literasi Zakat (ILZ) yang dipublikasikan Pusat Kajian Strategis BAZNAS dan Kementerian Agama (2020) menunjukkan bahwa tingkat literasi zakat masyarakat berada pada kategori moderat (menengah), dengan nilai 66,78. Berdasarkan hasil ILZ ini diketahui bahwa nilai pemahaman dasar tentang zakat berada pada kategori moderat (skor 72,21) dan pemahaman lanjutan tentang zakat berada pada kategori rendah (skor 56,68). Dari pemahaman dasar tentang zakat, skor yang paling tinggi adalah pada variabel pemahaman zakat secara umum (skor 84,38 kategori tinggi) dan variabel pemahaman ashnaf zakat (skor 81,29 kategori tinggi). Adapun skor terendah adalah variabel pemahaman obyek zakat (skor 56,54 kategori rendah).

Adapun hasil survey Indeks Literasi Wakaf (ILW) yang dipublikasikan BWI dan Kementerian Agama (2020) menunjukkan bahwa tingkat literasi wakaf masyarakat berada pada kategori rendah, dengan nilai 50,48. Hasil ILW juga menunjukkan bahwa baik pemahaman dasar publik tentang wakaf maupun pemahaman lanjutan tentang wakaf, keduanya berada pada kategori rendah dengan nilai masing-masing 57,67 dan 37,97.

Hasil ILZ dan ILW ini mengindikasikan bahwa peningkatan literasi zakat dan wakaf menjadi satu keharusan dan kebutuhan. Perlu dilakukan sejumlah langkah terobosan yang kreatif dan mampu mendongkrak literasi masyarakat. Ini sangat penting karena literasi mempengaruhi partisipasi dan keterlibatan publik dalam menunaikan ibadah ZISWAF-nya. Potensi ZISWAF yang besar akan dapat dioptimalkan ketika publik memiliki kesadaran yang tinggi untuk mau ber-ZISWAF. Kombinasi literasi pengambil kebijakan dan masyarakat secara umum, adalah kunci strategis yang perlu mendapat perhatian kita semua. Peningkatan literasi keduanya akan mensinkronkan pendekatan top down dan bottom up dalam pembangunan ZISWAF nasional.

Irfan Syauqi Beik

Sitasi :
Beik, I.S. 2020. Omnibus Law Cipta Kerja dan Masa Depan ZISWAF, dalam Majalah Risalah No. 09 Th 58 Rabiu’ul Akhir 1442 / Desember 2020, hal. 21-26