Pengaruh Literasi Wakaf Terhadap Minat Membeli CWLS

Rubrik Iqtishodia Republika, Jumat 23 Februari 2024

Pengaruh Literasi Wakaf Terhadap Minat Membeli CWLS

Hasil dari CWLS Retail akan digunakan untuk mendanai berbagai proyek sosial yang beragam.

M Bintang Awangsyah, Ranti Wiliasih

 

Wakaf memiliki peran penting dalam perekonomian. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2001, wakaf didefinisikan sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan secara abadi atau dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, untuk kepentingan ibadah dan/atau kesejahteraan umum.

Wakaf menjadi instrumen penting yang berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui konsep elemen ukhuwah (persaudaraan), birr (kebajikan), dan ihsan (kebaikan) (Nisa 2017). Selanjutnya, dalam evolusi penerapan wakaf, instrumen wakaf berkembang menjadi wakaf produktif, termasuk di dalamnya wakaf uang yang dikenal sebagai wakaf produktif yang bersifat fleksibel.

Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2022, wakaf uang dapat berbentuk uang tunai atau surat berharga, dengan nilai pokok yang dijaga agar tidak dapat diperjualbelikan, diwariskan, atau dihibahkan. Ini merupakan langkah penting dalam memperluas penggunaan wakaf dalam mendukung kegiatan ekonomi syariah dan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Dalam upaya mewujudkan program wakaf yang produktif, Badan Wakaf Indonesia (BWI) bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengembangkan instrumen wakaf yang baru, dikenal sebagai Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS).

CWLS retail merupakan subprogram yang dapat diikuti oleh individu, yaitu dengan jumlah minimum pemesanan satu juta rupiah. CWLS juga merupakan bentuk investasi sosial di mana wakaf uang yang terkumpul oleh Badan Wakaf Indonesia sebagai nazhir melalui kerja sama dengan Bank Syariah Indonesia dan Bank Muamalat sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKSPWU), akan dikelola dan ditempatkan dalam instrumen Sukuk Negara atau SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) yang diterbitkan oleh Kemenkeu.

Hasil dari CWLS Retail akan digunakan untuk mendanai berbagai proyek sosial yang beragam, seperti pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), program kesehatan, pemberian beasiswa pendidikan, pengembangan hunian yang baik (wakaf hunian hasanah), penyediaan alat pelindung diri bagi tenaga medis, serta pembiayaan pengobatan bagi kalangan dhuafa. Semua ini merupakan bagian dari upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara inklusif dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang lebih luas.

Peluncuran CWLS pertama kali dilakukan pada 14 Oktober 2018 dan seri pertamanya berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 50,84 miliar. Proses ini memakan waktu sekitar 1,5 tahun hingga diterbitkan pada 10 Maret 2020. Kemudian, pembelian berikutnya dalam CWLS seri SWR001 berhasil menghimpun dana sebesar Rp 14,91 miliar pada 24 November 2020.

Namun, dengan potensi yang seharusnya lebih besar, perolehan dana dari CWLS masih tergolong rendah. Penting untuk dicatat bahwa pada 24 November 2020, dana wakaf dari CWLS retail seri SWR001 telah berhasil terkumpul dengan jumlah sekitar Rp 14,91 miliar, yang berasal dari kontribusi dari 1.041 wakif.

Capaian itu berasal dari pesanan yang datang dari berbagai penjuru Indonesia, melibatkan pemesan dari 27 provinsi di seluruh negeri. Dari seluruh provinsi, DKI Jakarta terlihat sebagai salah satu yang paling berkontribusi, dengan jumlah pemesanan terbesar sebesar Rp 6,28 miliar.

Namun, berdasarkan (BWI 2020) Indeks Literasi Wakaf (ILW) DKI Jakarta merupakan ketiga terendah dengan skor 36,71 poin. Bahkan, Indeks Literasi Wakaf (ILW) DKI Jakarta masih lebih rendah diandingkan beberapa daerah dengan populasi mayoritas non-Muslim, seperti provinsi Papua yang memiliki skor 64,04 poin dan provinsi Bali dengan skor 62,49 (BWI 2020).

Pertanyaannya apakah literasi tidak berpengaruh terhadap pembelian sukuk? Untuk membuktikan ini dilakukan penelitian di DKI Jakarta, yaitu melihat pengaruh literasi terhadap intensi membeli sukuk. Responden penelitian adalah mereka yang beragama Islam, berdomisili atau tinggal di DKI Jakarta, belum pernah membeli Cash Waqf Linked Sukuk dan mengetahui/pernah mendengar Cash Waqf Linked Sukuk.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan disimpulkan bahwa variabel literasi wakaf dasar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi untuk membeli Cash Waqf Linked Sukuk. Mujakir dan Hidayatulloh (2022) menyimpulkan bahwa literasi memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap minat berwakaf uang.

Penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Osman (2012) yang menemukan bahwa literasi memainkan peran penting dalam memotivasi individu untuk berwakaf. Akan tetapi, hasil yang berbeda ditemukan pada hubungan antara literasi wakaf lanjutan dan intensi untuk membeli Cash Waqf Linked Sukuk.

Literasi wakaf lanjutan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap intensi pembelian. Penjelasan ini sejalan dengan laporan survei literasi wakaf nasional yang menempatkan Provinsi DKI Jakarta pada peringkat ke-28 dalam indeks literasi wakaf lanjutan dengan skor 30.36, yang berada dalam kategori rendah.

Meskipun DKI Jakarta merupakan pemesan CWLS retail terbesar, data dari Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan ketimpangan antara tingkat literasi dan inklusi keuangan di provinsi ini. Secara umum, literasi keuangan di DKI Jakarta mencapai 52,99 persen, sedangkan inklusi keuangan mencapai 96,62 persen. Hal ini mungkin mengindikasikan bahwa masyarakat DKI Jakarta sudah lebih banyak yang melek investasi atau survei literasi keuangan tidak mewakili populasi yang sebenarnya.

Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Asuransi Syariah

Rubrik Iqtishodia Republika, Jumat 23 Februari 2024

Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Asuransi Syariah

Asuransi syariah merupakan upaya saling melindungi, saling menanggung risiko, dan tolong menolong satu sama lain.

Marhamah Muthohharoh

 

Pernahkah para pembaca beramai-ramai sekeluarga mengumpulkan uang ketika ada sanak saudara yang sakit? Pernahkah para pembaca beramairamai‘patungan’ ketika ada teman atau kolega yang meninggal dunia? Atau pernahkan para pembaca mengalami musibah, lalu dibantu secara materi beramai-ramai oleh saudara, tetangga, atau teman?

Paling tidak satu di antara 10 penduduk Indonesia rasanya pernah mengalami atau melakukan hal-hal tersebut. Lantas, bagaimana jika uang yang dikumpulkan untuk membantu satu sama lain itu dikelola oleh suatu lembaga atau perusahaan yang hasil pengelolaannya kemudian digunakan kembali untuk membantu satu sama lain? Nama lembaga itu adalah perusahaan asuransi syariah.

Beramai-ramai membantu, tolongmenolong, dan bergotong royong merupakan ciri khas yang melekat erat dalam karakteristik dan kehidupan masyarakat Indonesia. Mengutip Maulana Irfan dalam “Crowdfunding Sebagai Pemaknaan Energi Gotong Royong Terbarukan” (2017), praktik gotong royong telah ada sejak lama di berbagai daerah di Indonesia.

Masyarakat mengenal istilah lain dari gotong royong, seperti sambatan, gentosan (gantian), gugur gunung, alang tulung, ngayah, tetulong layat, dan lainlain. Gotong royong menunjukkan hubungan sosial yang kuat antar individu dengan saling membantu demi kepentingan bersama. Dalam gotongroyong, setiap orang berkomitmen untuk saling mendukung dan bekerja sama tanpa pamrih.

Nilai kerja sama, gotong royong, saling membantu dan tolong-menolong di antara masyarakat Indonesia sejalan dengan nilai-nilai kebaikan dalam Islam. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim dengan Muslim yang lain adalah bersaudara. Ia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya kepada saudaranya yang Muslim. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa membebaskan seorang Muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak”

Tidak hanya itu, Allah SWT dalam firman-Nya juga telah menyuruh umatnya untuk tolong-menolong, terutama dalam kebaikan, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Maidah ayat 2: “Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Perkembangan asuransi syariah di Indonesia tentu tak lepas dari perkembangan ekonomi dan keuangan syariah itu sendiri. Asuransi syariah di Indonesia hadir sejak tahun 1994, berselang tiga tahun saja sejak didirikannya bank syariah pertama di Indonesia. Pendirian PT Syarikat Takaful Indonesia (Takaful Indonesia) pada 24 Februari 1994, menjadi tonggak sejarah dalam industri asuransi berbasis syariah di Indonesia.

Lalu, pada 5 Mei 1994, Takaful Indonesia mendirikan PT Asuransi Takaful Keluarga (Takaful Keluarga), yang bergerak di bidang asuransi jiwa syariah, dan PT Asuransi Takaful Umum (Takaful Umum) yang bergerak di bidang asuransi umum.

Dari sisi hukum, perkembangan asuransi syariah di Indonesia didukung dengan terbitnya fatwa DSN MUI 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut didukung dengan penerbitan fatwa lainnya terkait asuransi syariah, seperti Fatwa Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa Nomor 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah. Ada juga fatwa Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah.

Asuransi syariah juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah.

Peraturan-peraturan yang sudah ada kemudian diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang diubah menjadi UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Terbitnya undang-undang tersebut menjadi isyarat bahwa penyelenggaraan asuransi syariah di Indonesia secara resmi diakui dan terikat oleh hukum.

Pada tataran teknis, penyelenggaraan asuransi syariah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/POJK.05/2020 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

Sejak pendiriannya, asuransi syariah di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat, ditandai dengan jumlah industri syariah yang mencapai 15 unit dan perusahaan paket investasi syariah sejumlah 43 unit per April 2023, merujuk pada data Statistik IKNB Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Aset asuransi syariah yang berasal dari asuransi jiwa syariah, asuransi umum syariah, reasuransi syariah secara total mencapai Rp 45,7 triliun dengan aset produktif sebesar Rp 36,6 triliun pada periode yang sama.

Gotong royong dalam asuransi syariah baik asuransi syariah maupun asuransi konvensional, keduanya merupakan upaya untuk meminimalkan dampak atau risiko dari terjadinya kejadian yang tak terduga dan tak diharapkan. Namun, asuransi syariah tentunya berbeda dengan asuransi konvensional.

Asuransi konvensional menerapkan prinsip transfer of risk, yakni pemindahan risiko dari tertanggung (pemegang polis) kepada penanggung (perusahaan asuransi). Sedangkan prinsip yang digunakan pada asuransi syariah adalah sharing of risk, yakni saling menanggung risiko antara satu peserta asuransi syariah dan peserta lainnya.

Menurut fatwa DSN MUI 21/DSNMUI/X/2001, asuransi syariah (ta’min, takaful, tadhamun) adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’, yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.

Pengelolaan asuransi syariah didasarkan pada praktik takaful di mana peserta saling membantu dan saling menanggung risiko. Salah satu akad yang digunakan adalah tabarru’. Tabarru secara bahasa diartikan sebagai derma, sumbangan, atau hibah. Arti yang lebih luas, tabarru’ berarti melakukan suatu kebaikan tanpa persyaratan (Witasari dan Abdullah, 2014).

Tabarru’ merupakan kontribusi sukarela yang diberikan oleh peserta asuransi syariah untuk membantu peserta lain yang mengalami kerugian akibat musibah atau risiko tertentu. Tabarru’ inilah yang menjadi pembeda yang signifikan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.

Pada asuransi syariah, dana yang digunakan untuk pembayaran klaim asuransi berasal dari dana tabarru’. Adanya pembedaan antara dana peserta dan dana tabarru’ menyebabkan tidak adanya dana hangus pada asuransi syariah, berbeda dengan asuransi konvensional.

Merujuk OJK, selain tabarru’, dalam asuransi syariah juga digunakan akad tijarah (mudharabah), akad wakalah bil ujrah, dan akad mudharabah musytarakah.

Selain akad tabarru’, terdapat hal lain yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Pada asuransi syariah terdapat pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertanggung jawab memastikan transaksi pada asuransi syariah sudah sesuai dengan prinsip syariah.

Berbeda dengan asuransi konvensional di mana keuntungan pengelolaan dana diberikan sepenuhnya kepada perusahaan, keuntungan dari pengelolaan dana asuransi syariah dibagi secara merata kepada semua peserta. Pada asuransi syariah, surplus underwriting juga akan dibagi secara prorata kepada para peserta.

Sementara itu, asuransi konvensional tidak memberlakukan pengembalian dana keuntungan. Pada asuransi syariah, seluruh peserta asuransi memiliki kepemilikan bersama atas dana premi atau kontribusi, sementara perusahaan hanya bertugas sebagai pengelola dana asuransi. Ini tentunya berbeda dengan asuransi konvensional, di mana perusahaan yang menjadi pemilik atas dana premi dan dapat menggunakannya sesuai kesepakatan awal.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah lebih dari sekadar meminimalkan dampak atau risiko, tapi juga merupakan upaya saling melindungi, saling menanggung risiko, dan saling menolong satu sama lain, khususnya di antara sesama peserta asuransi syariah.

Tentunya hal ini bukan suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia yang senang menolong satu sama lain, bahkan bergotong royong dalam membantu sesama. Nilai kearifan lokal yang melekat erat pada karakteristik dan kehidupan masyarakat Indonesia.

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, merupakan pasar yang menjanjikan bagi industri asuransi syariah. Namun kenyataannya, jauh panggang dari api. Merujuk pada Statistik IKNB Syariah OJK per April 2023, penetrasi asuransi syariah di Indonesia hanya 0,13 persen. Angka itu pun menurun dari 0,139 persen pada April tahun sebelumnya. Rendahnya penetrasi asuransi syariah di Indonesia tidak terlepas dari rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia terhadap keuangan syariah yang hanya mencapai 9,14 persen pada tahun 2022, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi (SNLKI) yang dilaksanakan OJK. Sementara, indeks literasi keuangan konvensional mencapai 49,68 persen.

Selain itu, persepsi masyarakat terhadap asuransi secara umum juga berdampak pada rendahnya penetrasi asuransi syariah di Indonesia. Tidak dapat dimungkiri bahwa asuransi memiliki citra yang tidak cukup baik di masyarakat disebabkan adanya beberapa kejadian, seperti kasus dugaan penipuan asuransi. Belum lagi proses klaim yang sulit dan uang yang hangus padahal sudah membayar premi yang mahal.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, alangkah baiknya jika masyarakat dapat memperhatikan hal-hal berikut sebelum menggunakan asuransi syariah. Pertama, memastikan bahwa perusahaan asuransi syariah sudah terdaftar secara resmi di OJK.

Kedua, memilih perusahaan asuransi syariah dengan produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan. Ketiga, mempelajari dan memahami besaran premi atau kontribusi beserta manfaat yang ditetapkan serta persyaratan klaim yang disyaratkan

Keempat, memilih perusahaan asuransi syariah yang memiliki reputasi yang baik dan rekanan dengan lembagalembaga kesehatan yang berkualitas. Dalam memilih asuransi syariah, tentunya akan lebih baik jika meniatkan memberikan dana tabarru’ untuk saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah jika ada yang terkena musibah. Sehingga tidak hanya berasuransi, tetapi juga sembari berbuat baik tolong-menolong satu sama lain.

Strategi Penghimpunan Wakaf Uang Melalui Bank Syariah

Rubrik Iqtishodia Republika, Kamis 22 Februari 2024

Strategi Penghimpunan Wakaf Uang Melalui Bank Syariah

Diperlukan strategi khusus dalam menangani kesenjangan antara potensi wakaf dan realita lapangan.

Atikah Nurul Izzah, Neneng Hasanah, Yekti Mahanani

 

Wakaf merupakan salah satu instrumen keuangan Islam yang sudah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Jenis objek yang boleh diwakafkan dibagi menjadi dua, yaitu benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan dan jenis lainnya. Adapun benda bergerak seperti uang atau dapat disebut wakaf tunai.

Mekanisme wakaf tunai di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Wakaf No 41 Tahun 2004. Wakaf uang dibayarkan oleh wakif melalui bank syariah yang ditunjuk sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKSPWU) atas nama nazhir. LKS-PWU berkewajiban untuk mengumumkan keberadaannya kepada publik, menyediakan sertifikat wakaf uang, dan menerima titipan (wadi’ah) wakaf uang dari wakif atas nama nazir (BWI 2021).

Selanjutnya, nazir mengelola harta wakaf untuk dimanfaatkan investasi bisnis yang menghasilkan keuntungan. Keuntungan tersebut akan diberikan kepada mauquf‘alaih dan dialirkan pada program bermanfaat dan diberikan kepada yang membutuhkan. Oleh karena itu, wakaf tunai biasanya merujuk pada cash deposit di lembaga-lembaga keuangan seperti bank yang biasanya diinvestasikan pada profitable business activities (BWI 2020).

Badan Wakaf Indonesia pada tahun 2021 mengemukakan bahwa wakaf uang diprediksi dapat terhimpun hingga Rp 180 triliun per tahunnya. Namun, faktanya akumulasi penghimpunan wakaf uang nasional yang terdiri atas wakaf uang dan wakaf melalui uang hanya terkumpul sebesar Rp 831 miliar, di mana LKS-PWU hanya berkontribusi sebesar 11,11 persen dari total pengumpulan. Diperlukan strategi khusus dalam menangani kesenjangan antara potensi wakaf dan realita lapangan.

Bank Syariah Indonesia (BSI) adalah salah satu bank syariah terbesar di Indonesia berperan besar dalam kemajuan wakaf uang di Indonesia. BSI ditunjuk sebagai LKS-PWU pada tahun 2022.

Bank tersebut tidak hanya menjalankan kegiatan bisnis saja, tetapi menunjukkan keseriusannya dalam industri keuangan syariah dengan menyusun Rencana Jangka Panjang BSI (Corporate Planning) 2021-2025. Dalam rencana tersebut, BSI ingin menyelaraskan struktur organisasi yang berfokus pada pengembangan Islamic Ecosystem Solution dengan menjadi mitra keuangan nomor satu untuk umat Muslim Indonesia melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf.

BSI juga bekerja sama dengan Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat dalam menyediakan platform daring bagi masyarakat untuk berwakaf dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengumpulan dan pengelolaan wakaf tunai.

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis langkah strategi yang diperlukan untuk mengoptimalkan pengelolaan wakaf uang. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang digunakan untuk menyusun analisa SWOT yang terdiri atas kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), ancaman (threat), dan strategi. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) kepada para pakar dan praktisi yang memiliki pemahaman mengenai peran bank syariah dalam wakaf uang dilanjutkan dengan pengisian kuesioner oleh responden.

Adapun sumber data sekunder didapatkan berdasarkan dokumen, studi literatur, data dari pemerintahan, dan jurnal ilmiah yang relevan dengan penelitian. Hasil dari indepth interview pada pakar, praktisi, dan akademisi kemudian digunakan untuk membuat model dalam metode Analytic Network Process (ANP).

Strategi penghimpunan wakaf di BSI selain untuk komersial, Bank Syariah Indonesia memiliki fungsi sosial sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Dalam penelitian ini, diperlukan identifikasi empat elemen analisis, yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari BSI sebagai LKS PWU.

Penyusunan elemen analisis ini didasarkan pada studi literatur serta wawancara mendalam dengan pakar dan praktisi yang ahli di bidangnya. Selanjutnya, perumusan strategi optimalisasi penghimpunan wakaf uang oleh Bank Syariah Indonesia dilakukan dengan mempertimbangkan keempat kriteria tersebut.

Prioritas strategi berdasarkan strategi yang dirumuskan, pembobotan nilai prioritas dilakukan pada elemen strategi. Nilai prioritas strategi didapatkan dari perhitungan geometric mean dan kesepakatan dari para responden (rater agreement) yang dapat dilihat dari nilai W masing-masing elemen.

Prioritas utama dari strategi optimalisasi wakaf uang oleh Bank Syariah Indonesia adalah promosi dan sosialisasi wakaf uang yang lebih masif kepada nasabah Bank dan masyarakat luas dengan nilai geometric mean sebesar 0.28510. Kesepakatan responden yang dihitung dari nilai rater agreement menghasilkan nilai W sebesar 0,1346 yang berarti bahwa sebesar 13,46 persen sepakat dengan hasil prioritas tersebut dan sisanya memiliki pilihan yang variatif.

Implementasi wakaf uang di Bank Syariah Indonesia ialah bank merupakan Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) bertugas menghimpun dana wakaf uang dari wakif dalam bentuk titipan (wadi’ah) yang kemudian akan dikelola oleh mitra strategisnya yakni BSI Maslahat dan nazhir lainnya. Terdapat tiga layanan wakaf utama di BSI, yaitu Wakaf Uang Selamanya, Wakaf Uang Temporer, dan Wakaf Melalui Uang.

Aspek kekuatan yang menempati prioritas utama adalah bank syariah memiliki banyak mitra nazir pengelola yang profesional. Aspek kelemahan yang menempati prioritas pertama adalah kurangnya pemahaman karyawan bank syariah tentang wakaf. Aspek peluang yang paling prioritas adalah populasi penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Sedangkan, aspek ancaman yang paling prioritas adalah kurangnya literasi masyarakat tentang kewenangan Bank Syariah sebagai LKS-PWU.

Adapun langkah konkret yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan penghimpunan wakaf uang di Bank Syariah Indonesia berdasarkan urutan prioritas adalah promosi wakaf uang yang lebih masif kepada nasabah bank dan masyarakat luas, peningkatan kompetensi nazir agar program lebih produktif dan inovatif, program literasi wakaf uang untuk karyawan bank syariah dan masyarakat, bank syariah memaksimalkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk penghimpunan yang lebih optimal.

Berdasarkan pentingnya peran Bank Syariah Indonesia sebagai salah satu LKS-PWU, saran yang dapat diberikan para stakeholder baik itu Bank Syariah Indonesia, pemerintah maupun institusi wakaf uang lainnya adalah hendaknya bersinergi untuk melakukan promosi wakaf uang yang lebih masif kepada seluruh lapisan masyarakat.

Hal tersebut dapat dilakukan secara online dengan memanfaatkan media sosial seperti web platform, Instagram, Youtube, Tiktok, dengan pembuatan konten yang menarik. Selain itu, promosi juga dapat dilakukan secara offline melalui seminar atau kajian, nasabah yang datang ke kantor cabang, dan forum majelis taklim di daerah-daerah.

Biaya Kuliah dan Peran Keuangan Sosial Islam

Rubrik Iqtishodia Republika, Kamis 22 Februari 2024

Biaya Kuliah dan Peran Keuangan Sosial Islam

Dampak buruk dari mahalnya biaya pendidikan tinggi adalah makin lebarnya kesenjangan.

Ahmad Syahirul Alim, Muhammad Anhar

 

Pendidikan tinggi memainkan peran penting dalam upaya memberantas kemiskinan karena melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dan kompeten dalam berbagai bidang. Hal itu menjadi alasan akan pentingnya perluasan aksesibilitas untuk pendidikan tinggi dalam upaya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan memberikan peluang yang setara bagi semua individu.

Akses pendidikan tinggi di Indonesia telah mengalami kemajuan dalam beberapa tahun terakhir, terdapat 4.522 lembaga pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta (Hakim & Pamungkas 2023). Namun, angka partisipasi kasar perguruan tinggi hanya 31,45 persen pada tahun 2023 (BPS 2023) walaupun Kemendikbudristek mengeklaim sempat meningkat menjadi 39,37 persen pada tahun 2022 (Putera 2023).

Angka ini masih di bawah rata-rata global sebesar 40 persen (UNESCO 2022), bahkan lebih rendah dibandingkan Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 persen).

Salah satu hambatan dalam mencapai aksesibilitas perguruan tinggi di Indonesia adalah mahalnya biaya kuliah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya biaya operasional perguruan tinggi, termasuk gaji, pemeliharaan fasilitas, dan penyediaan teknologi. Selain itu, investasi infrastruktur dan fasilitas modern, seperti laboratorium, perpustakaan, dan gedung demi status akreditasi lebih tinggi tentunya tidak murah.

Hal ini menyebabkan biaya pendidikan di perguruan tinggi terus meningkat, bahkan tidak seimbang dengan peningkatan gaji masyarakat. Akibatnya, tidak semua orang tua dapat mengantarkan anaknya hingga lulus kuliah meskipun sudah menyiapkan dana pendidikan sejak dini.

Laju kenaikan biaya kuliah per tahun sekitar 1,3 persen untuk kampus negeri dan 6,96 persen untuk kampus swasta, mengalahkan laju kenaikan gaji pekerja lulusan SMA (3,8 persen) maupun sarjana (2,7 persen) (Wisanggeni 2022).

Gambarannya, tabungan orang tua yang memiliki gelar sarjana dan melahirkan bayi pada 2022 diperkirakan hanya cukup untuk membiayai kuliah anaknya selama 6 semester pada 2040 (Dzulfikar 2022).

Dampak buruk dari mahalnya biaya pendidikan tinggi adalah makin lebarnya kesenjangan sosial ekonomi karena terhambatnya akses masyarakat miskin untuk mengenyam perguruan tinggi. Banyak lulusan sekolah yang mengurungkan niat untuk melanjutkan pendidikannya karena khawatir dengan biaya yang tinggi.

Keterbatasan beasiswa pendidikan pemerintah menyadari pentingnya akses pendidikan tinggi dengan implementasi program beasiswa dan bantuan keuangan guna mendukung mahasiswa kurang mampu secara finansial. Beasiswa memiliki peran penting sebagai solusi dalam pemerataan pendidikan, salah satunya adalah Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) yang penerimanya saat ini mencapai 900 ribu mahasiswa menurut Presiden Jokowi (Ernis 2023).

Selain itu, program beasiswa LPDP disediakan bagi mahasiswa pascasarjana, penerimanya mencapai 45.496 orang sampai tahun 2023 (Santika 2024). Selain itu, banyak pula beasiswa yang diberikan universitas maupun lembaga swasta.

Faktanya, beasiswa yang banyak ini belum cukup karena jumlahnya masih di bawah angka kebutuhan generasi muda Indonesia. Contohnya, jumlah pendaftar KIP-K tahun 2020 sebanyak 689 ribu orang, naik menjadi 840 ribu orang pada tahun 2021. Jumlah tersebut meningkat menjadi 941 ribu orang di tahun 2022 dan menjadi 946 ribu orang per 3 Agustus 2023. Terbatasnya ketersediaan beasiswa membuat persaingan untuk mendapatkannya sangat ketat sehingga mengakibatkan banyak mahasiswa gagal meskipun membutuhkannya.

Fakta lain, dampak resesi ekonomi membuat beberapa perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) periode Januari-September 2023, terdapat 42.277 orang yang terkena PHK di seluruh Indonesia (Ahdiat 2023). Jika orang tua mahasiswa termasuk korban PHK, maka tentu berakibat fatal bagi pembiayaan kuliah anaknya.

Pinjaman online bukan solusi beberapa pihak menawarkan jalan pintas untuk pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) dengan memberikan pinjaman pendidikan berbunga bagi mahasiswa. Program pinjaman online ini memiliki tenor cicilan pembayaran 1-12 bulan dengan hitungan bunga 10-20 persen dari total pinjaman yang harus dikembalikan 30 hari setelah dana diberikan.

Pengelola LPDP juga pernah mempertimbangkan untuk memberikan student loan dari Dana Abadi, tetapi mengurungkannya setelah mencermati potensi masalah yang terjadi dengan berkaca kepada negara lain. Student loan acapkali menyisakan utang yang mengganggu cashflow peminjamnya, bahkan hingga puluhan tahun setelah lulus kuliah (Pratama 2024).

Pinjaman pendidikan berbunga menjadi beban finansial bagi mahasiswa maupun lulusan. Pemberlakuan bunga membuat jumlah utang terus bertambah sehingga makin sulit untuk membayarnya. Hal ini akan memicu stres keuangan yang berdampak pada gangguan kesehatan mental sehingga meningkatkan risiko drop out (DO).

Jika mahasiswa tidak mampu membayar utangnya maka berisiko mengalami default sehingga masuk blacklist perusahaan. Lulusan akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga utang tersebut menjadi lebih sulit dibayar. Akibatnya, tingkat pengangguran makin tinggi.

Penulis meyakini bahwa pinjaman dana pendidikan berbunga hanya menjadi masalah baru bagi mahasiswa. Umat Muslim telah diingatkan oleh Allah SWT bahwa orang yang memakan harta riba tidak akan mendapat kebaikan dan janji Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 276: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.”

Solusi yang ditawarkan Islam bukan pinjaman berbunga yang termasuk ke dalam riba, melainkan sedekah dalam arti luas, berupa wakaf, zakat, atau infak yang dikenal dengan keuangan sosial Islam.

Peran keuangan sosial Islam (Islamic social finance/ISF) merupakan sektor keuangan Islam yang berfokus pada kegiatan zakat, sedekah, dan wakaf, juga berdasar gotong royong, seperti qardh hasan dan kafālah (Siregar & Marliyah 2023). Potensi keuangan sosial Islam masih belum sepenuhnya tergali dan dimanfaatkan secara maksimal.

Upaya dan inisiatif yang telah dilakukan masih menyisakan peluang besar untuk mengembangkan modelmodel pembiayaan berbasis prinsipprinsip syariat Islam.Wakaf dalam Islam sebagai sedekah jariah dapat menjadi sumber pendanaan berkelanjutan untuk pembiayaan pendidikan selain sebagai aset berupa lahan dan bangunan.

Universitas al-Azhar di Mesir merupakan bukti nyata pemanfaatan aset-aset wakaf produktif yang dimiliki oleh perguruan tinggi sehingga mampu mendanai operasionalnya sendiri sehingga hampir tidak ada biaya pendidikan yang dibebankan kepada mahasiswa, bahkan beasiswa diberikan kepada ribuan mahasiswa setiap tahun. Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo mampu menyediakan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau sampai tingkat perguruan tinggi dan Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Bogor menggratiskan biaya pendidikan ribuan santri mulai SD sampai perguruan tinggi. Kedua lembaga pendidikan ini menjadi contoh sukses pengelolaan aset-aset wakaf produktif yang efektif di Indonesia.

Saat ini, konsep wakaf juga diserap menjadi endowment fund (dana abadi) pada kampus-kampus top dunia, dipraktikkan pertama kali oleh Lady Margaret Beaufort Countess of Richmond pada tahun 1502 di Universitas Oxford dan Cambridge. Dana Abadi digunakan untuk membiayai sarana-prasarana pendidikan, riset ilmu pengetahuan, teknologi, serta kemanusiaan, chaired professorship (guru besar), dan beasiswa (BWI 2022).

Hal ini menyebabkan beban biaya pendidikan menjadi berkurang bagi mahasiswa. Lima kampus top dunia yang memiliki dana abadi terbanyak adalah University of Texas System (69,2 miliar dolar AS), Stanford University (62,9 miliar dolar AS), Harvard University (53,2 miliar dolar AS), Yale University (44,6 miliar dolar AS), dan Massachusetts Institute of Technology (42,5 miliar dolar AS) (Karleen 2023).

Peran zakat perlu dioptimalkan sebagai penyokong pembiayaan UKT bagi mahasiswa kurang mampu melalui program beasiswa. Baznas menyelenggarakan program Beasiswa Cendekia yang telah membiayai 1422 orang.

Baznas (Bazis) DKI Jakarta telah memberikan Beasiswa Masa Depan Jakarta (MDJ) serta biaya pelunasan UKT bagi mahasiswa yang membutuhkan sejak tahun 2018, tercatat sebanyak 3.384 beasiswa telah disalurkan pada tahun 2022 (Zainuddin 2022). Hal ini perlu dicontoh oleh lembaga zakat lain agar meningkatkan penyaluran zakat untuk sektor pendidikan. Lembaga zakat juga disarankan bekerja sama dengan universitas dalam pengumpulan zakat, baik dari dosen maupun orang tua mahasiswa.

Infak dan sedekah dapat berperan sebagai jaring pengaman sosial skala kecil bagi mahasiswa yang kurang mampu. Universitas dapat menggalakkan pengumpulan infak dan sedekah dari dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, serta alumni secara rutin walaupun nominalnya kecil sebagai dana darurat.

Dana ini perlu dikelola secara baik dan transparan untuk membantu pelunasan UKT mahasiswa maupun menolong yang terkena musibah. Pengelolaannya lebih baik bekerja sama dengan lembaga Ziswaf profesional yang penggunaannya sudah disepakati bersama.

Keuangan Sosial Islam memiliki potensi sangat besar untuk membantu pengembangan dan pembiayaan pendidikan tinggi. Perguruan Tinggi harus mulai memikirkan cara untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut dan tidak selalu mengandalkan UKT mahasiswa sebagai sumber utama dalam pembiayaan pendidikan. Wallahu ‘alam bishawab.

 

Proyeksi Pengelolaan Wakaf Tahun 2023

Rubrik Iqtishodia Republika, Kamis 22 Desember 2022

Proyeksi Pengelolaan Wakaf Tahun 2023

Irfan Syauqi Beik

Perkembangan sektor wakaf di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat luar biasa pada tahun ini. Diperkirakan tren kinerja pengelolaan wakaf nasional pada tahun 2023 akan kembali naik dibandingkan dengan kinerja tahun 2022. Ada tujuh indikator yang menguatkan proyeksi peningkatan kinerja perwakafan tersebut.

Pertama, kinerja pengelolaan wakaf nasional tahun 2022 mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan tahun 2021. Ini dapat dilihat dari kenaikan nilai Indeks Wakaf Nasional (IWN) 2022 yang hampir dua kali lebih besar dibandingkan dengan nilai IWN 2021. Meski rilis resmi Laporan Indeks Wakaf Nasional 2022 baru akan diluncurkan pada akhir Januari atau Februari 2023, namun kalkulasi sementara yang dilakukan menunjukkan adanya perubahan yang sangat luar biasa. Kategori nilai IWN-nya naik dari kategori “kurang” di 2021 menjadi kategori “cukup” di 2022.

Kedua, dukungan regulasi di sejumlah daerah terhadap perwakafan juga menunjukkan indikasi yang semakin menggembirakan. Dukungan tersebut mulai dari adanya peraturan gubernur yang terkait dengan penguatan ekonomi syariah termasuk wakaf di dalamnya, pendirian komite daerah ekonomi dan keuangan syariah (KDEKS), pembinaan nazhir oleh otoritas, hingga dukungan APBD yang menunjang operasional BWI daerah. Diantara provinsi yang paling signifikan dukungan regulasi daerahnya adalah Riau. Wajar jika kemudian Gubernur Riau Syamsuar mendapatkan BWI Awards 2022 kategori Tokoh Wakaf Nasional unsur Kepala Daerah. Penulis berharap, kontribusi dan pencapaian Gubernur Riau ini juga bisa menginspirasi kepala daerah lain untuk melakukan hal yang sama, yaitu mendukung perwakafan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, basis-basis wakif (pemberi wakaf) juga semakin meluas. Selain wakif individu yang jumlahnya terus naik, saat ini jumlah wakif institusi juga menunjukkan tren peningkatan dengan basis institusi yangs emakin beragam. Diantaranya adalah basis wakif institusi pendidikan tinggi. Inisiasi yang dilakukan ITS dengan wakaf uang Rp 50 miliar dan IPB dengan wakaf uang Rp 200 miliar, diharapkan dapat mendorong kampus-kampus lain untuk menempatkan dana abadinya pada instrumen CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk). Kampus-kampus, baik yang berada di bawah Kemendikbud Ristek maupun Kemenag, diharapkan dapat terlibat langsung menjadi wakif institusi dan mengoptimalkan dana abadi yang dikelolanya melalui instrumen wakaf-linked sukuk.

Keempat, digitalisasi wakaf yang terus berjalan dan semakin efektif di dalam memfasilitasi peningkatan kualitas layanan perwakafan nasional. Setelah sukses dalam mengembangkan kanal digital berkahwakaf.id dan e-services bagi para nazhir, BWI akan terus mengembangkan digitalisasi ini di tahun 2023 mendatang. Diantara hal yang akan dikembangkan antara lain adalah mendorong pengembangan aplikasi yang akan mengintegrasikan data wakaf yang dimiliki BPN (Badan Pertanahan Nasional) dengan data sistim informasi wakaf yang dimiliki Kemenag. Juga akan dikembangkan aplikasi Akta Ikrar Wakaf (AIW) digital dan aplikasi blended commercial finance, yang mengkombinasikan antara keuangan sosial syariah, khususnya wakaf uang, dengan keuangan komersial syariah.

Kelima, produk-produk wakaf semakin beragam dengan pola pendanaan yang juga semakin inovatif. Mulai dari produk wakaf tradisional yang memanfaatkan teknologi mobile banking atau internet banking, hingga produk yang lebih kompleks dengan mengkombinasikan wakaf uang dengan instrumen Shariah Crowdfunding (SCF) syariah. Kompleksitas produk ini menunjukkan bahwa animo publik semakin tinggi dan kebutuhan nazhir akan produk investasi wakaf juga semakin meningkat, baik untuk menginvestasikan wakaf uang yang dikelolanya maupun untuk mengembangkan harta benda wakaf yang dikelolanya agar semakin produktif.

Keenam, dari sisi produk pengetahuan wakaf, juga terlihat indikasi semakin berkembangnya dinamika keilmuan wakaf. Mulai dari inovasi pengetahuan melalui pengembangan Indeks Wakaf Nasional, Indeks Implementasi WCP (Waqf Core Principles), hingga Indeks Tata Kelola Nazhir Yang Baik (Good Nazhir Governance – GNG Index) yang baru saja diluncurkan di Leeds, Inggris pada September 2022 lalu. Selain itu, semakin berkembangnya ragam riset wakaf yang dikembangkan oleh kalangan perguruan tinggi juga semakin menguatkan peran Indonesia sebagai produsen ilmu ekonomi dan keuangan sosial Islam terkemuka di dunia. Ini sejalan dengan cita-cita bangsa ini untuk menjadi pusat ekonomi syariah dunia pada tahun 2024 mendatang.

Ketujuh, kualitas SDM pengelola aset wakaf, perlahan tapi pasti, menunjukkan adanya peningkatan kualitas dari waktu ke waktu. Sejak didirikannya LSP BWI yang berlisensi BNSP pada akhir 2021 lalu, jumlah nazhir yang tersertifikasi semakin banyak, melebihi angka 1500 orang. Ini tentu berkorelasi dengan peningkatan kinerja perwakafan nasional di tahun 2022. Karena itu, dengan tren sertifikasi yang terus meningkat, diharapkan pada tahun 2023, kualitas pengelolaan wakaf akan semakin baik. Produktifitas aset wakaf juga diharapkan semakin meningkat, sehingga peran dan kontribusi wakaf dalam pembangunan nasional menjadi semakin signifikan. Semoga. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Mengembangkan ESG Syariah

Iqtishodia Republika, Kamis 24 November 2022

Mengembangkan ESG Syariah

Irfan Syauqi Beik*

Terjadinya bencana gempa di Cianjur yang menurut catatan BNPB, telah mengakibatkan jatuhnya korban meninggal dunia sebanyak 268 jiwa per Selasa 22 November 2022 lalu, menambah rentetan duka bangsa atas berbagai peristiwa bencana alam yang terjadi di negeri ini. Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap terjadinya berbagai bencana alam.

Berdasarkan data BNPB, sepanjang tahun 2021 telah terjadi 5.402 kejadian bencana dan 99,5 persen diantaranya adalah bencana hidrometeorologi, yang disebabkan oleh perubahan iklim dan cuaca. Data BNPB juga menunjukkan bahwa dari kejadian bencana tersebut, bencana banjir tercatat yang paling banyak terjadi, yaitu 1.794 kejadian, disusul 1.577 kejadian bencana akibat cuaca ekstrem, 1.321 bencana tanah longsor, 579 kejadian kebakaran hutan dan lahan, 91 bencana gelombang pasang dan abrasi, 24 gempa bumi, 15 kekeringan dan 1 erupsi gunung berapi.

Adapun dari sisi jumlah korban sebagai dampak dari bencana, BNPB mencatat bahwa jumlah korban meninggal dunia akibat bencana di 2021 mencapai angka 728 orang, 87 orang hilang, 14.915 jiwa luka-luka, 7,6 juta jiwa mengungsi, 158 ribu rumah rusak, 4.445 fasilitas umum rusak, 664 kantor rusak, dan 505 jembatan rusak. Tentu situasi ini juga memiliki dampak secara ekonomi.

Selain kerugian material yang diderita, juga dapat menambah jumlah fakir miskin baru, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan secara ekonomi. Untuk itu, kondisi perlu mendapat perhatian kita semua, terutama jika melihat fakta bahwa kontribusi kegiatan ekonomi dan bisnis yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, menjadi salah satu penyebab utama terjadinya bencana hidrometeorologi ini.

Salah satu solusinya adalah dengan terus mengembangkan konsep ESG (Environment, Social, Governance) beserta aplikasinya di Indonesia. Konsep ini didasarkan pada pentingnya menjaga aspek lingkungan, sosial dan tata kelola dalam mengembangkan kegiatan perekonomian. ESG ini harus menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan kegiatan ekonomi, termasuk bisnis dan investasi.

Konsep ESG

Pada dasarnya, konsep ESG ini sangat sejalan dengan prinsip ekonomi syariah. Filosofi dasar ekonomi syariah yang menekankan tercapainya kondisi maslahah, dimana kegiatan ekonomi harus memberikan manfaat dan berkah berkelanjutan dalam bingkai keadilan, sangat sejalan dengan konsep ESG.

Dari sisi lingkungan (environment), ekonomi syariah sangat memberi perhatian yang sangat mendalam terhadap upaya menjaga dan melestarikan lingkungan. Dalam banyak ayat, Allah SWT telah mengingatkan akan pentingnya menjaga lingkungan dan dampak kerusakan yang ditimbulkannya. Yang menarik, pada QS 30 : 41, Allah secara tegas menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan adalah akibat ulah tangan manusia. Ulah manusia yang secara sadar dan sengaja, melalui perencanaan bisnis yang sistematis dan well-managed, telah mengakibatkan kerusakan alam secara terstruktur akibat diabaikannya dampak lingkungan. Karena itu, koreksi terhadap sistim ekonomi, keuangan dan bisnis, melalui penggunaan berbagai terminologi hijau, seperti green economy dan green finance, perlu untuk terus didorong dan dikembangkan.

Kemudian dari sisi sosial, ekonomi syariah juga memiliki concern yang sangat kuat. Islam mengajarkan bahwa setiap entitas bisnis komersial, wajib melaksanakan fungsi sosialnya. Pelaksanaan fungsi sosial ini antara lain ditunjukkan dengan penunaian kewajiban zakat, baik zakat pada level individu maupun badan usaha, dan ibadah sosial lainnya termasuk infak, sedekah dan wakaf. ZISWAF ini menjadi indikator paling fundamental dari sisi sosial, di samping pengelolaan hubungan dengan para pemangku kepentingan strategis dalam ekosistim ekonomi dan bisnis yang dikembangkan. Bank syariah misalnya, meski merupakan entitas bisnis namun wajib menjalankan fungsi sosial. Karena itu, agak aneh kalau ada lembaga keuangan syariah, yang enggan menunaikan ZISWAF-nya.

Adapun dari sisi tata kelola (governance), ekonomi syariah juga mengajarkan pentingnya untuk memastikan bahwa tata kelola ekonomi dan bisnis yang dikembangkan, dapat dilaksanakan dengan baik dan berkelanjutan. Aspek keberlanjutan ini juga sangat penting karena juga sangat mempengaruhi masa depan perekonomian. Implementasi tata kelola yang didasarkan atas prinsip itqan dan ihsan, akan melahirkan kinerja ekonomi dan bisnis yang optimal. Dengan demikian, secara konseptual, ESG ini sesungguhnya merupakan hal yang seharusnya melekat secara otomatis pada entitas ekonomi dan bisnis, baik di sektor riil maupun sektor keuangan, termasuk juga dalam pengelolaan lembaga amil dan nazhir di sektor sosial.

Aplikasi ESG Syariah

Meski masih terbatas, namun upaya melaksanakan konsep ESG syariah ini telah dilakukan pada berbagai sektor dan industri dalam ekonomi syariah. Di sisi keuangan, pemerintah telah mengembangkan berbagai produk investasi yang relevan dengan aplikasi ESG yang antara lain tercermin pada penerbitan sukuk negara hijau, baik pada skala global maupun ritel. Ini antara lain dilakukan sebagai ikhtiar untuk membiaya kegiatan climate action yang hingga tahun 2030 membutuhkan dana tidak kurang dari Rp 3.461 triliun (Kemenkeu, 2021).

Penerbitan perdana sukuk hijau global oleh pemerintah dilakukan pada Maret 2018 dengan nilai total penerbitan sebesar USD 1,25 miliar. Hingga akhir 2020 telah diterbitkan sukuk hijau global senilai hampir tiga miliar dolar AS. Sementara pada sisi ritel, dalam kurun waktu yang sama sampai akhir 2020, telah diterbitkan sukuk ritel hijau melalui penerbitan sukuk tabungan seri ST-006 dengan nilai Rp 1,46 triliun, yang dilanjutkan dengan ST-007 senilai Rp 5,4 triliun.

Pada sisi keuangan sosial, telah berkembang pula program wakaf hijau di berbagai wilayah, seperti hutan wakaf di Bogor. BWI bersama UNDP Indonesia pun telah menerbitkan konsep Green Waqf Framework sebagai upaya sistematis dalam mengoptimalkan pembangunan hijau berbasis wakaf. Ke depan, edukasi publik akan konsep ESG syariah dan juga inovasi-inovasi produk yang ada, harus terus dikembangkan. Salah satunya, rencana BEI untuk menginisiasi Daftar Efek Syariah berbasis ESG (DES-ESG) perlu kita sambut dan semoga dapat direalisasikan pada tahun 2023. Saatnya kita melaksanakan konsep ESG untuk meningkatkan kualitas bisnis syariah di tanah air. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

RUU P2SK dan Wakaf Uang

Rubrik Iqtishodia Republika 27 Oktober 2022

RUU P2SK dan Wakaf Uang

Irfan Syauqi Beik*

Ada yang menarik tentang wakaf uang ini. Di satu sisi ia adalah instrumen yang kental dengan fungsi sosial, karena lahir dari semangat kedermawanan dan rasa ingin berbagi. Namun di sisi lain, ia juga memiliki sisi komersial yang tidak boleh diabaikan. Ini karena nilai pokok uang wakaf harus dijaga, dan cara terbaik menjaganya adalah dengan menginvestasikannya pada instrumen-instrumen investasi syariah, baik di sektor riil maupun sektor keuangan. Kalau tidak diinvestasikan, nilai pokok uang akan tegerus inflasi sehingga daya belinya akan terus berkurang.

Dengan dua karakteristik tersebut yang melekat pada wakaf uang, dan juga pada aset-aset wakaf lainnya yang dibingkai dalam konsep wakaf produktif, maka keterlibatan lembaga keuangan syariah menjadi sangat penting. Dalam desain regulasi saat ini, keterlibatan LKS ada pada dua hal, yaitu sebagai LKS PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang) dan sebagai nazhir wakaf uang. LKSPWU secara khusus disematkan untuk perbankan syariah, sementara nazhir wakaf uang saat ini didominasi oleh lembaga keuangan mikro syariah, seperti koperasi syariah dan BMT, dan bank syariah dilarang menjadi nazhir wakaf uang. Tentu di luar LKMS ini, ada banyak yayasan yang telah mendapat izin sebagai nazhir wakaf uang dari BWI.

Yang menarik, inovasi produk berbasis wakaf uang ini perkembangannya sangat luar biasa. Di luar investasi pada produk bank syariah tradisional seperti tabungan dan deposito, telah berkembang sejumlah inovasi produk wakaf uang yang terkait dengan investasi di sektor riil (meski banyak yang tidak dijamin asuransi syariah), maupun yang dikawinkan dengan produk keuangan komersial syariah lainnya. Berawal dari kolaborasi wakaf dan asuransi syariah via produk wakaf polis asuransi, saat ini produk wakaf uang telah berkembang pada Cash Waqf Linked Sukuk dan produk sukuk-linked wakaf melalui mekanisme SCF (securities crowdfunding) syariah. Penerbitan sukuk-linked wakaf yang diluncurkan saat ISEF 7 Oktober 2022 lalu, oleh Yayasan Lingkar Sehat Indonesia bekerja sama dengan unit syariah dari Fundex, salah satu penyelenggara SCF, merupakan salah satu bukti bahwa dinamika itu sudah sedemikian dalam dan berpotensi menjadi tren baru perwakafan ke depannya.

Penulis meyakini bahwa dinamika seperti ini akan terus berkembang, sehingga menuntut adanya penyesuaian dari sisi regulasi. Penyesuaian ini menjadi sangat penting karena jangan sampai regulasi justru menjadi faktor penghambat dinamika yang ada. Harapan utamanya tentu pada pengusulan pembahasan RUU Wakaf di DPR. Namun, sambil menunggu proses tersebut, ada baiknya kita memanfaatkan momentum pembahasan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Tentu tidak semua harapan perbaikan regulasi ini dititipkan melalui RUU P2SK, namun paling tidak, ada hal yang diharapkan dapat diakomodasi dalam RUU ini. Yaitu, regulasi mengenai posisi bank syariah sebagai nazhir wakaf uang. Idealnya, seluruh LKS perlu diberikan kesempatan menjadi nazhir wakaf uang, namun khusus bank syariah, agar tidak dibatasi perannya hanya sebagai LKS PWU.

Urgensi nazhir wakaf uang

Ada tiga alasan yang melatarbelakangi usulan bank syariah menjadi nazhir wakaf uang. Pertama, secara internasional, pasca terjadinya krisis global tahun 2008, Islamic Development Bank melalui IRTI (sekarang menjadi IsDB Institute) telah mengembangkan FSAP (Financial Sector Assessment Program) for Islamic Finance, mengikuti langkah serupa yang telah diinisiasi oleh World Bank. Dalam FSAP for Islamic Finance ini dibahas mengenai sektor-sektor yang dapat mempengaruhi stabilitas sistim keuangan syariah dan penguatan perekonomian. Salah satunya adalah sektor keuangan sosial syariah yang berbasis ZISWAF. Hal tersebut mengindikasikan bahwa wakaf uang hendaknya masuk menjadi salah satu concern utama ketika berbicara tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan, khususnya keuangan syariah. Karena itu, fokus pengembangan wakaf uang ini tidak hanya menjadi wilayahnya Kemenag dan BWI saja, namun juga harus menjadi perhatian bersama seluruh otoritas di bidang keuangan dan perekonomian.

Kedua, perekonomian Indonesia termasuk ke dalam banking-based economy, dimana peran perbankan dalam mengalirkan “darah” bagi tubuh perekonomian masih sangat dominan. Hal ini ditunjukkan dengan porsi aset perbankan terhadap PDB mencapai angka 59,5 persen. Meski masih lebih kecil dibandingkan Malaysia (198,6 persen), Singapura (572,1 persen) dan Thailand (146,6 persen), yang aset perbankannya meleibihi PDB-nya, namun dengan porsi yang hampir 60 persen, dan disertai dengan fakta banyaknya program pemerintah yang disalurkan melalui perbankan, maka keberadaan perbankan menjadi sangat penting. Termasuk dalam hal pengelolaan wakaf uang.

Dengan kapasitas dan kemampuan bank syariah saat ini, maka menjadikan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang adalah pilihan strategis untuk mengoptimalkan potensi wakaf uang yang mencapai angka Rp 180 triliun, sekaligus memanfaatkan wakaf uang tersebut secara produktif untuk menggerakkan perekonomian nasional. Bank syariah akan lebih termotivasi untuk mendorong kampanye wakaf uang ini, dan ini juga akan memberi peluang alternatif sumber pembiayaan bagi UMKM yang porsinya mendominasi perekonomian Indonesia.

Ketiga, kapasitas penyaluran wakaf uang untuk investasi di sektor riil akan semakin besar. Ini dikarenakan kemampuan bank syariah telah teruji dalam hal penyaluran pembiayaan di sektor riil. Termasuk jika penyalurannya dilakukan dengan melibatkan institusi keuangan syariah lainnya, seperti penyaluran dalam bentuk channeling. Bisa dibayangkan jika investasi wakaf uang yang 180 triliun itu dilakukan pada sektor-sektor strategis dalam perekonomian, maka dampak multiplier-nya akan sangat luar biasa. Kolaborasi dengan institusi-institusi nazhir lainnya juga akan berkembang dengan baik.

Jika melihat kata wakaf dalam RUU P2SK, saat ini ada satu kata wakaf di Pasal 109, dimana wakaf dapat menjadi salah satu sumber pendanaan modal ventura. Kenapa tidak, kata wakaf ini, termasuk wakaf uang, diperluas pada pasal-pasal terkait perbankan syariah, dan bahkan LKS lainnya. Kalaupun UU No 41/2004 tentang Wakaf terkena dampak, maka hal tersebut hanya pada pasal-pasal tentang LKSPWU. Karena itu, penulis berharap pemerintah dan DPR dapat mempertimbangkan usulan ini, untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Implementasi Wakafnomics (Bagian 3)

Implementasi Wakafnomics (Bagian 3)

Irfan Syauqi Beik*

Pada bagian terakhir dari rangkaian tulisan mengenai implementasi wakafnomics ini, akan dibahas mengenai implementasi dari perspektif mikro. Pada pendekatan mikro, implementasi wakafnomics difokuskan pada dua hal. Pertama, upaya penguatan kinerja pengelolaan wakaf pada level kelembagaan nazhir, dan kedua, penguatan literasi dan partisipasi publik pada level individu atau keluarga. Keduanya sangat penting karena sangat menentukan wajah perwakafan pada tataran praktik.

Pada level kelembagaan nazhir, perlu dilakukan upaya-upaya untuk terus meningkatkan aspek profesionalitas, akuntabilitas, dan kompetensi nazhir. Untuk merealisasikannya, lembaga nazhir wajib memperhatikan dua prinsip utama, yaitu prinsip “dua aman”, yang terdiri atas aman syar’i dan aman regulasi, dan prinsip “tiga pertanggungjawaban”, yang terdiri atas pertanggungjawaban keuangan (financial accountability), pertanggungjawaban program (program accountability) dan pertanggungjawaban etika (ethical accountability). Implementasi prinsip-prinsip ini akan sangat memengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga wakaf.

Pada aspek aman syar’i, setiap institusi nazhir wajib memastikan bahwa keseluruhan proses pengelolaan wakaf tidak bertentangan dengan syariah. Jangan sampai ada praktik yang bertentangan secara diametral dengan tuntunan syariah. Misalnya, jika nazhir ingin menginvestasikan dana wakaf yang dikelolanya, maka investasi ini harus dipastikan dilakukan pada sektor-sektor usaha yang tidak melanggar syariah. Termasuk mekanisme investasinya harus bebas dari unsur-unsur yang diharamkan, seperti riba, gharar dan maysir. Karena itu, setiap institusi nazhir hendaknya memiliki dewan pengawas syariah yang kapabel, untuk memastikan adanya proses pengawasan syariah yang kredibel.

Selanjutnya pada aspek aman regulasi, semua lembaga nazhir wajib menjunjung tinggi pelaksanaan UU yang ada, yaitu UU No 41/2004 tentang Wakaf maupun UU yang terkait lainnya, seperti UU yang terkait dengan pengelolaan zakat, kelembagaan yayasan dan perseroan terbatas. Ini sangat penting agar pelaksanaan wakaf tidak menimbulkan persoalan secara hukum. Sebagai contoh, pemanfaatan dana yang menjadi hak nazhir harus mengikuti ketentuan yang ada saat ini, yaitu tidak boleh melebihi angka 10 persen dari hasil pengelolaan wakaf yang dilakukannya.

Adapun pada pertanggungjawaban keuangan, nazhir harus dapat mengelolan keuangan wakaf sesuai dengan PSAK 112, yang secara efektif berlaku sejak 2021 lalu. Selain itu, jika ada dana non-wakaf yang dikelolanya, seperti infak sedekah, maka pengelolaannya harus sesuai dengan PSAK terkait lainnya seperti PSAK 109. Dalam konteks ini, BWI telah merancang pedoman sistem akuntansi nazhir beserta implementasinya melalui platform digital. Tinggal penyelesaian dasar aturan hukumnya yang sudah masuk pada tahap akhir pembahasan. Diharapkan hal tersebut akan membantu memudahkan nazhir dalam mengelola6 keuangannya termasuk membantu memudahkan proses audit keuangan oleh pihak kantor akuntan publik, sehingga hasil audit tersebut diharapkan akan berujung pada opini wajar (dahulu WTP).

Sedangkan pada pertanggungjawaban program, institusi nazhir harus memastikan bahwa program-program yang dilakukannya memberikan maanfaat yang luas bagi masyarakat. Masyarakat harus dapat dengan mudah mengetahui dan mengakses program-program tersebut. Untuk itu, dalam Indeks Wakaf Nasional (IWN), diantara dimensi yang diukurnya terdapat dimensi outcome dan dimensi dampak. Pada dimensi outcome, kinerja wakaf diukur dari sisi rasio atau proporsi program wakaf produktif, yang mengukur seberapa besar proporsi program wakaf secara produktif dibandingkan dengan proporsi program wakaf secara sosial, dan jangkauan mauquf alaih, yang mengukur seberapa banyak penerima manfaat dari program pengelolaan wakaf yang dilakukan nazhir. Sementara pada dimensi dampak, IWN mencoba untuk mengukur dampak program wakaf terhadap masyarakat penerima manfaat wakaf, baik dari sisi kesejahteraan material spiritualnya, sisi pendidikan, kesehatan dan kemandiriannya, maupun dampaknya terhadap infrastruktur yang diperlukan masyarakat.

Selanjutnya pada pertanggungjawaban etika, yang wajib diperhatikan oleh nazhir adalah terkait kode etik yang mengikat nazhir, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan dalam pengelolaan wakaf, seperti aspek remunerasi dan perilaku para nazhir. Ini adalah hal yang sangat penting karena publik akan melihat kesesuaian antara pesan dakwah wakaf dengan perilaku para pengusung dakwah wakaf tersebut. Jika terdapat kesenjangan yang cukup parah, maka publik tidak akan mempercayakan lagi penyaluran wakafnya melalui lembaga nazhir. Sama halnya dengan kemaksiatan. Efek kemaksiatan, meski kecil, akan jauh lebih besar pada ustadz dibandingkan dengan pada preman. Inilah yang perlu dijaga oleh setiap pegiat wakaf agar potensi besar wakaf ini bisa terus digerakkan untuk membangkitkan kekuatan sosial ekonomi masyarakat.

Selain prinsip “dua aman” dan “tiga pertanggungjawaban” di atas, maka implementasi wakafnomics pada level mikro ini juga memerlukan adanya inovasi berkelanjutan. Inovasi ini bisa ditinjau dari sisi teknologi, dari sisi produk dan mekanisme pengelolaan, maupun dari sisi pengelolaannya secara keseluruhan. Sebagai contoh, digitalisasi yang dikembangkan oleh BWI, baik pengembangan platform berkahwakaf.id dan e-services untuk para nazhir, merupakan salah satu ikhtiar agar proses pengumpulan dana wakaf, hingga proses pelaporannya sebagai bentuk pertanggungjawaban nazhir, dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Demikian pula dengan perluasan produk wakaf, seperti adanya CWLS maupun rencana BWI untuk mendorong sinergi wakaf uang dengan instrumen layanan urun dana atau securities crowdfunding (SCF) syariah, merupakan bagian dari inovasi berkelanjutan yang perlu dikembangkan oleh seluruh institusi pengelola wakaf.

Jika proses-proses di atas dapat dilakukan dengan baik, dan kemudian dikomunikasikan kepada publik melalui beragam saluran yang tepat, maka ujungnya diharapkan dapat meningkatkan literasi dan kepercayaan masyarakat. Peningkatan literasi ini merupakan sebuah keniscayaan, agar pemahaman dan kesadaran publik untuk berwakaf bisa terus meningkat dari waktu ke waktu. Untuk itu, edukasi individu dan keluarga mengenai hikmah dan urgensi berwakaf, perlu untuk terus dikembangkan secara kreatif dan berkelanjutan, dengan memanfaatkan beragam media yang ada. Harapannya, indeks literasi wakaf kita akan semakin meningkat. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Implementasi Wakafnomics (Bagian 2)

Irfan Syauqi Beik*

Pada edisi bulan lalu, telah dibahas implementasi wakafnomics dengan menggunakan pendekatan makro yang bersifat nasional. Selanjutnya akan dibahas bagaimana implementasi wakafnomics dari perspektif meso dan mikro. Pendekatan meso yang dimaksud adalah pendekatan yang berbasis regional (kewilayahan), dalam hal ini adalah provinsi dan kabupaten/kota, serta pendekatan yang berbasis sektoral. Dalam konteks sektoral, yang dimaksud adalah sektor wakaf produktif maupun wakaf sosial, yang dapat diintegrasikan dengan sektor non wakaf, seperti industri halal dan industri keuangan syariah.

Adapun pendekatan mikro adalah pendekatan yang terkait dengan aktor wakaf secara individu, baik wakif, nazhir, maupun para stakeholder strategis lainnya. Bagaimana setiap aktor ini dapat memainkan perannya dengan baik, sehingga upaya optimalisasi pembangunan wakaf dapat dilaksanakan dengan baik dan memiliki dampak yang sangat signifikan.

Empat pilar wakafnomics, baik pilar produktivitas, falah dan maslahah, keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi, dan growth through equity (tumbuh melalui berbagi), memerlukan implementasi yang tepat melalui pendekatan meso yang terintegrasi. Integrasi antara aspek kewilayahan dan aspek sektoral. Untuk itu, diperlukan adanya sejumlah tahapan yang bersifat sistematis dalam mendorong penguatan wakafnomics di level meso.

Tahap pertama adalah tahapan untuk mengkonsolidasikan para pemangku perwakafan di level daerah. Tujuannya agar ada kesepahaman dan kesamaan visi dalam menjadikan wakaf sebagai salah satu instrumen utama dalam pembangunan daerah. Sinkronisasi dengan kebijakan pembangunan daerah menjadi sangat penting. Bahkan jika perlu, beberapa tujuan pembangunan daerah dapat dicapai melalui pemanfaatan wakaf. Misalnya, penyediaan perluasan fasilitas kesehatan daerah dapat dipenuhi melalui pembangunan RS wakaf.

Termasuk dalam tahap ini adalah institusionalisasi lembaga pengambilan kebijakan perwakafan agar lebih efektif pada sisi eksekusinya. Keberadaan KDEKS (Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah) dapat dijadikan sebagai kendaraan yang dapat mengkonsolidasikan pemangku kepentingan daerah yang ada. Untuk itu, keberadaan KDEKS sebagaimana yang telah ada di Provinsi Sumatera Barat, dapat direplikasikan di provinsi-provinsi lainnya. Atau bahkan direplikasikan pada tingkat kabupaten/kota.

Tahap kedua, diperlukan adanya kebijakan di level daerah yang mendorong terciptanya kawasan-kawasan pengembangan wakaf yang terintegrasi, baik wakaf produktif maupun wakaf sosial. Misalnya, jika di suatu kawasan terdapat tanah wakaf seluas lima hektar, yang berlokasi di wilayah ibukota provinsi, maka diperlukan adanya pendekatan kebijakan yang bersifat komprehensif dan integratif dalam memanfaatkan lokasi tersebut untuk dibangun berbagai proyek wakaf produktif dan sosial.

Bermula dari penyusunan feasibility study (studi kelayakan) yang mencoba mengidentifkasi proyek komersial apa yang ingin dikembangkan di atas tanah wakaf tersebut. Hasil studi tersebut harus dapat memberi gambaran lengkap mengenai proyek bisnis yang akan dibangun dan tahapan-tahapan pembiayaan yang diperlukan (jika tidak bisa sekaligus). Tahapan-tahapan pembiayaan ini sangat perlu untuk didetilkan agar dapat diketahui secara jelas besaran kebutuhan dana di setiap fase pembangunan kawasan ini. Termasuk di dalamnya adalah studi dari sisi badan hukum yang akan menjadi pengelolanya, apakah memerlukan PT khusus wakaf atau melalui badan hukum lain.

Setelah itu diidentifikasi sumber-sumber pembiayaan yang diperlukan. Ada sejumlah saluran pendanaan yang dapat dilakukan. Pertama, sumber dana wakaf uang atau wakaf melalui uang secara ritel. Ini dilakukan melalui pelibatan masyarakat dan korporasi secara aktif, melalui kampanye wakaf yang bersifat masif, dengan menyediakan beragam saluran donasi wakaf, baik melalui kanal-kanal digital maupun kanal-kanal non digital. Kedua, sumber dana melalui mekanisme APBD, dengan asumsi bahwa implementasi di level makro yang menempatkan wakaf sebagai bagian dari instrumen fiskal negara berjalan dengan baik.

Ketiga, sumber dana investasi langsung, dengan mengundang pemodal dalam dan luar negeri. Seandainya lembaga pembiayaan investasi wakaf telah dimiliki oleh negeri ini, maka keberadaannya bisa dioptimalkan dengan baik. Namun karena belum ada, maka pimpinan daerah bersama-sama dengan BWI perwakilan dan komponen wakaf daerah lainnya, dapat menciptakan beragam skema investasi yang menarik, termasuk menjajaki kerjasama dengan sejumlah lembaga investasi wakaf uang di dunia internasional, seperti Awqaf Properties Investment Fund – Islamic Development Bank (APIF IsDB) dan Awqaf Investment Company Arab Saudi.

Keempat, sumber dana melalui penerbitan sukuk wakaf, baik CWLS maupun sukuk wakaf daerah. Kepala daerah bersama DPRD, dapat mendorong alternatif penerbitan sukuk wakaf daerah dengan underlying asset-nya adalah proyek wakaf prioritas di daerah. Jika kembali ke contoh tanah wakaf lima hektar di atas, maka underlying asset-nya adalah proyek di atas tanah lima hektar tersebut. Harus didorong upaya perbaikan regulasi sehingga hal ini bisa dilaksanakan dengan baik.

Kelima, sumber dana melalui mekanisme pasar modal syariah. Ini juga perlu dilakukan kajian secara mendalam. Sebagai contoh, memanfaatkan layanan urun dana syariah (Shariah Securities Crowdfunding, atau SCF Syariah) sebagai sumber alternatif pendanaan proyek wakaf produktif. Meski aturan yang ada membatasi hingga maksimal Rp 10 miliar per penerbitan sukuk melalui SCF syariah, namun hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk membiayai sebagian dari tahapan pembiayaan yang diperlukan.

Inilah contoh-contoh saluran pembiayaan yang dapat dieksplorasi oleh setiap daerah sehingga instrumen wakaf bisa semakin berkembang dan bermanfaat. Diperlukan keberanian dan terobosan-terobosan inovatif agar pemanfaatan wakaf bisa berjalan dengan optimal. Adapun implementasi wakafnomics melalui pendekatan mikro, akan dibahas pada edisi berikutnya, insya Allah. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Implementasi Wakafnomics (Bagian 1)

Rubrik Iqtishodia Republika, 25 Mei 2022

Implementasi Wakafnomics (Bagian 1)

Irfan Syauqi Beik*

Pada rubrik ini edisi April 2022 lalu, telah dijelaskan gambaran singkat mengenai filosofi wakafnomics yang didasarkan pada empat pilar, yaitu : produktivitas, orientasi falah dan maksimisasi maslahah, keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi, dan konsep growth through equity atau pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme berbagi.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana mengimplementasikan konsepsi wakafnomics ini sehingga keempat pilar tersebut bisa ditegakkan dan memiliki dampak positif terhadap penguatan perekonomian suatu bangsa?

Untuk menjawabnya, tentu tidak mudah. Namun menurut penulis, implementasi wakafnomics ini dapat ditinjau dari tiga pendekatan, yaitu pendekatan yang bersifat makro, meso dan mikro. Pada edisi kali ini akan dibahas khusus tinjauan dari sisi pendekatan makro.

Pada pendekatan makro, implementasi wakafnomics memerlukan dukungan kebijakan yang bersifat komprehensif, dengan memanfaatkan dan mengembangkan inovasi instrumen yang dapat memfasilitasi kebijakan yang mendukung penerapan wakaf ini. Ada empat jalur kebijakan yang dapat dimanfaatkan, yaitu kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan pendalaman pasar keuangan, dan kebijakan investasi wakaf. Meski demikian, keempat kebijakan tersebut dapat saling berinteraksi dan saling memengaruhi satu sama lain.

Pada sisi kebijakan fiskal, saat ini yang sudah dikembangkan adalah kombinasi antara wakaf uang dengan sukuk negara, dalam bentuk produk CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk) yang sudah memasuki penerbitan seri ketiga untuk ritelnya. CWLS ini juga menjadi bagian dari upaya pendalaman pasar keuangan syariah di Indonesia. Ke depan, perlu dilakukan sejumlah inovasi program wakaf yang dapat memperkuat keterlibatan aset wakaf dalam pembangunan nasional.

Sebagai contoh, penulis ingin mengajak kita mendiskusikan penerimaan wakaf, baik wakaf aset maupun wakaf uang, sebagai bagian dari penerimaan negara maupun penerimaan daerah. Jadi klasifikasi penerimaan negara ditambah posnya, tidak hanya pajak, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), hibah dan lain-lain, namun juga wakaf. Dengan kata lain, masyarakat atau wakif diperbolehkan mewakafkan asetnya, baik aset tetap maupun aset bergerak, kepada negara, dengan konsekuensi negara harus menjaga aset ini selama-lamanya dan tidak boleh dialihkan pada pihak lain, baik domestik maupun asing. Dalam hal ini, peran nazhir negara perlu dipertegas melalui satu pintu, yaitu BWI, baik BWI Pusat maupun BWI daerah.

Adapun peran nazhir lembaga milik masyarakat yang ada, bisa diarahkan sebagai mitra BWI dalam mengelola aset wakaf negara. Sebagai imbal balik bagi wakif sekaligus stimulus untuknya, maka setiap aset yang ia wakafkan, dapat dijadikan sebagai kredit pajak, atau minimal menjadi pengurang pendapatan kena pajak. Karena menjadi pos keempat penerimaan negara, maka secara agregat, total penerimaan negara tidak akan berkurang.

Kebijakan ini juga akan mengubah definisi BMN (Barang Milik Negara), dimana ada tambahan jenis barang yaitu barang wakaf. Adanya BMN wakaf ini memungkinkan untuk dikembangkannya instrumen sukuk-linked wakaf (SLW), dimana instrumen sukuk negara yang menghimpun dana komersial syariah, bisa digunakan untuk membiayai proyek-proyek wakaf yang menjadi underlying asset-nya. Aset-aset wakaf yang idle dan belum produktif, dapat dibuat produktif dengan pengembangan SLW ini.

Pemerintah pun tidak perlu ragu untuk mengembangkan program strategis di atas tanah wakaf melalui suntikan dana APBN/APBD. Belum lama ini, dalam satu kesempatan dialog wakaf di Provinsi Riau bersama BWI Riau, ada salah satu pemerintah kabupaten yang ingin mengembangkan program wisata syariah di atas aset wakaf melalui mekanisme APBD. Namun belum tereksekusi karena terkendala regulasi yang ada saat ini.

Selanjutnya, jalur kebijakan moneter. Saat ini Bank Indonesia telah mengembangkan instrumen SukBI (Sukuk Bank Indonesia) yang digunakan untuk operasi moneter syariah. Penulis mengusulkan untuk mendiskusikan kemungkinan pengembangan CWL-SukBI atau Cash Waqf Linked Sukuk BI. Namun khusus instrumen ini, BUS dan UUS wajib menggunakan wakaf uang yang ada pada mereka untuk bisa membeli instrumen ini. Ini akan mendorong BUS dan UUS untuk terus mengkampanyekan wakaf uang, karena return yang nantinya diperoleh, dapat disalurkan untuk program-program sosial kesejahteraan yang akan semakin memperkuat kedudukan perbankan syariah di tengah masyarakat.

Dengan CWL-SukBI, maka operasi moneter syariah ini tidak hanya berfungsi dalam konteks stabilitas keuangan syariah, namun juga memiliki dampak riil sosial kesejahteraan yang besar. Operasi moneter yang langsung menjangkau kaum dhuafa negeri ini. Indonesia bisa menjadi pionir di dunia untuk hal ini.

Berikutnya, pada sisi kebijakan pendalaman pasar keuangan syariah, penulis juga berharap OJK dapat mendiskusikan kemungkinan pengembangan inovasi wakaf yang berdampak pada shariah financial deepening. Selain SLW yang diterbitkan oleh negara dan atau pihak swasta, OJK bisa mendorong berkembangnya inovasi produk keuangan syariah berbasis wakaf, seperti cash-waqf linked deposit pada industri perbankan syariah, modal ventura berbasis wakaf, wakaf saham, reksadana wakaf, dan lain-lain.

Penulis yakin, ini akan semakin mendorong penguatan sisi sosial dari industri keuangan syariah. Apalagi jika kemudian OJK juga mewajibkan adanya laporan pengelolaan dana ZISWAF oleh industri perbankan dan keuangan syariah, seperti jumlah wakaf uang yang ada. Jika data wakaf uang juga bisa masuk dalam statistik perbankan syariah yang secara reguler dipublikasikan OJK, tentu akan sangat baik.

Terakhir, pada kebijakan investasi, penulis berharap agar Indonesia juga bisa memiliki suatu institusi seperti Lembaga Pengelolaan Investasi Wakaf (LPIW) maupun Lembaga Penjaminan dan Pengembangan Aset Wakaf (LPPAW) untuk mendorong peran besar institusi wakaf. Manfaat bagi negara akan sangat optimal. Misalnya, dengan membuka ruang masyarakat berwakaf untuk proyek pembangunan negara, seperti pembangunan jalan, maka beban biaya APBN untuk pembebasan lahan dapat diminimalisir.

Masyarakat juga akan termotivasi untuk mendapatkan pahala berkelanjutan meski telah meninggal dunia. Ini baru satu contoh saja, belum lagi manfaat sosial ekonomi lainnya yang juga akan sangat besar. Belum lagi kita bisa mengundang masuknya investasi dana wakaf dari berbagai negara ke Indonesia melalui LPIW.

Penulis menyadari bahwa lontaran gagasan di atas hanyalah ide dan pemikiran untuk bagaimana kita bersama-sama membuat terobosan-terobosan dalam memanfaatkan potensi wakaf yang ada. Untuk merealisasikannya, pasti dibutuhkan adanya dukungan regulasi yang kuat.

Saran penulis, mengapa tidak, kita jadikan RUU Ekonomi Syariah sebagai omnibus law-nya ekonomi syariah di prolegnas 2023? Semua gagasan yang memungkinkan bekerjanya gagasan baru ekonomi syariah dapat dituangkan dalam pembahasan RUU tersebut.

Memang sangat berat, namun semuanya tentu berpulang pada komitmen kita semua, khususnya pemerintah dan DPR. Adapun dari sisi pendekatan meso dan mikro, akan dibahas pada edisi berikutnya, insya Allah. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI