Implementasi Wakafnomics (Bagian 2)

Irfan Syauqi Beik*

Pada edisi bulan lalu, telah dibahas implementasi wakafnomics dengan menggunakan pendekatan makro yang bersifat nasional. Selanjutnya akan dibahas bagaimana implementasi wakafnomics dari perspektif meso dan mikro. Pendekatan meso yang dimaksud adalah pendekatan yang berbasis regional (kewilayahan), dalam hal ini adalah provinsi dan kabupaten/kota, serta pendekatan yang berbasis sektoral. Dalam konteks sektoral, yang dimaksud adalah sektor wakaf produktif maupun wakaf sosial, yang dapat diintegrasikan dengan sektor non wakaf, seperti industri halal dan industri keuangan syariah.

Adapun pendekatan mikro adalah pendekatan yang terkait dengan aktor wakaf secara individu, baik wakif, nazhir, maupun para stakeholder strategis lainnya. Bagaimana setiap aktor ini dapat memainkan perannya dengan baik, sehingga upaya optimalisasi pembangunan wakaf dapat dilaksanakan dengan baik dan memiliki dampak yang sangat signifikan.

Empat pilar wakafnomics, baik pilar produktivitas, falah dan maslahah, keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi, dan growth through equity (tumbuh melalui berbagi), memerlukan implementasi yang tepat melalui pendekatan meso yang terintegrasi. Integrasi antara aspek kewilayahan dan aspek sektoral. Untuk itu, diperlukan adanya sejumlah tahapan yang bersifat sistematis dalam mendorong penguatan wakafnomics di level meso.

Tahap pertama adalah tahapan untuk mengkonsolidasikan para pemangku perwakafan di level daerah. Tujuannya agar ada kesepahaman dan kesamaan visi dalam menjadikan wakaf sebagai salah satu instrumen utama dalam pembangunan daerah. Sinkronisasi dengan kebijakan pembangunan daerah menjadi sangat penting. Bahkan jika perlu, beberapa tujuan pembangunan daerah dapat dicapai melalui pemanfaatan wakaf. Misalnya, penyediaan perluasan fasilitas kesehatan daerah dapat dipenuhi melalui pembangunan RS wakaf.

Termasuk dalam tahap ini adalah institusionalisasi lembaga pengambilan kebijakan perwakafan agar lebih efektif pada sisi eksekusinya. Keberadaan KDEKS (Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah) dapat dijadikan sebagai kendaraan yang dapat mengkonsolidasikan pemangku kepentingan daerah yang ada. Untuk itu, keberadaan KDEKS sebagaimana yang telah ada di Provinsi Sumatera Barat, dapat direplikasikan di provinsi-provinsi lainnya. Atau bahkan direplikasikan pada tingkat kabupaten/kota.

Tahap kedua, diperlukan adanya kebijakan di level daerah yang mendorong terciptanya kawasan-kawasan pengembangan wakaf yang terintegrasi, baik wakaf produktif maupun wakaf sosial. Misalnya, jika di suatu kawasan terdapat tanah wakaf seluas lima hektar, yang berlokasi di wilayah ibukota provinsi, maka diperlukan adanya pendekatan kebijakan yang bersifat komprehensif dan integratif dalam memanfaatkan lokasi tersebut untuk dibangun berbagai proyek wakaf produktif dan sosial.

Bermula dari penyusunan feasibility study (studi kelayakan) yang mencoba mengidentifkasi proyek komersial apa yang ingin dikembangkan di atas tanah wakaf tersebut. Hasil studi tersebut harus dapat memberi gambaran lengkap mengenai proyek bisnis yang akan dibangun dan tahapan-tahapan pembiayaan yang diperlukan (jika tidak bisa sekaligus). Tahapan-tahapan pembiayaan ini sangat perlu untuk didetilkan agar dapat diketahui secara jelas besaran kebutuhan dana di setiap fase pembangunan kawasan ini. Termasuk di dalamnya adalah studi dari sisi badan hukum yang akan menjadi pengelolanya, apakah memerlukan PT khusus wakaf atau melalui badan hukum lain.

Setelah itu diidentifikasi sumber-sumber pembiayaan yang diperlukan. Ada sejumlah saluran pendanaan yang dapat dilakukan. Pertama, sumber dana wakaf uang atau wakaf melalui uang secara ritel. Ini dilakukan melalui pelibatan masyarakat dan korporasi secara aktif, melalui kampanye wakaf yang bersifat masif, dengan menyediakan beragam saluran donasi wakaf, baik melalui kanal-kanal digital maupun kanal-kanal non digital. Kedua, sumber dana melalui mekanisme APBD, dengan asumsi bahwa implementasi di level makro yang menempatkan wakaf sebagai bagian dari instrumen fiskal negara berjalan dengan baik.

Ketiga, sumber dana investasi langsung, dengan mengundang pemodal dalam dan luar negeri. Seandainya lembaga pembiayaan investasi wakaf telah dimiliki oleh negeri ini, maka keberadaannya bisa dioptimalkan dengan baik. Namun karena belum ada, maka pimpinan daerah bersama-sama dengan BWI perwakilan dan komponen wakaf daerah lainnya, dapat menciptakan beragam skema investasi yang menarik, termasuk menjajaki kerjasama dengan sejumlah lembaga investasi wakaf uang di dunia internasional, seperti Awqaf Properties Investment Fund – Islamic Development Bank (APIF IsDB) dan Awqaf Investment Company Arab Saudi.

Keempat, sumber dana melalui penerbitan sukuk wakaf, baik CWLS maupun sukuk wakaf daerah. Kepala daerah bersama DPRD, dapat mendorong alternatif penerbitan sukuk wakaf daerah dengan underlying asset-nya adalah proyek wakaf prioritas di daerah. Jika kembali ke contoh tanah wakaf lima hektar di atas, maka underlying asset-nya adalah proyek di atas tanah lima hektar tersebut. Harus didorong upaya perbaikan regulasi sehingga hal ini bisa dilaksanakan dengan baik.

Kelima, sumber dana melalui mekanisme pasar modal syariah. Ini juga perlu dilakukan kajian secara mendalam. Sebagai contoh, memanfaatkan layanan urun dana syariah (Shariah Securities Crowdfunding, atau SCF Syariah) sebagai sumber alternatif pendanaan proyek wakaf produktif. Meski aturan yang ada membatasi hingga maksimal Rp 10 miliar per penerbitan sukuk melalui SCF syariah, namun hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk membiayai sebagian dari tahapan pembiayaan yang diperlukan.

Inilah contoh-contoh saluran pembiayaan yang dapat dieksplorasi oleh setiap daerah sehingga instrumen wakaf bisa semakin berkembang dan bermanfaat. Diperlukan keberanian dan terobosan-terobosan inovatif agar pemanfaatan wakaf bisa berjalan dengan optimal. Adapun implementasi wakafnomics melalui pendekatan mikro, akan dibahas pada edisi berikutnya, insya Allah. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI